Masyarakat Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur (NTT) memang memiliki tradisi unik menenun sejak jaman dahulu. Tradisi tersebut berhasil menjadi daya tarik wisata sekalius sebagai ladang perekonomian masyarakat sekitar. Kain tenun ikat Sumba sendiri sudah menjadi oleh-oleh wajib bagi wisatawan yang baru saja mengunjungi Sumba. Namun, tahukah kalian mengapa Sumba identik dengan tenun? Pertanyaan tersebut juga sudah terlampau sering disampaikan wisatawan yang berkunjung ke Sumba.
Menurut salah satu pemerhati tenun ikat Sumba Jonathan Hani, wisatawan banyak yang bertanya mengapa tenun ikat Sumba menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat setempat. “Lalu, kenapa hanya ada di Sumba Timur yang motifnya seperti ini, dan di Sumba Barat tidak?” kata dia saat memandu acara Virtual Heritage “Eksotisme Tenun Sumba” yang diselenggarakan Traval.co, Sabtu (18/10/2020).
Jonathan pun menjelaskan latar belakang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, orang tidak bisa memandang tenun ikat hanya karena seninya saja. Lanjutnya, orang harus juga melihat tenun ikat Sumba dari sisi antropologi. Alasannya, kata dia, karena tenun ikat Sumba merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan. Lalu, apa alasan orang Sumba menenun? Jelas Jonathan, jawaban tersebut bisa dirujuk dari periode awal orang Sumba pertama kali menenun sekitar tahun 1800-1900an hingga kini. Menurut dia, ada tiga alasan mengapa masyarakat Sumba menenun di setiap periode yang berbeda. Simak tiga alasannya berikut ini:
1. Tenun bagian dari ritual persembahan syukur kepada Tuhan
Di jaman dahulu, masyarakat Sumba menjadikan kain tenun sebagai salah satu ornament penting dalam ritual keagamaan. Motif-motifnya juga berubah seiring berkembangnya budaya. “Jadi bukan nilai seninya, tapi nilai budaya yang paling utama. Contohnya adalah tenun Hinggi Kombu. Hinggi sendiri berasal dari bahasa Sumba yang berarti selembar kain, dan Kombu artinya warna merah. Contohnya adalah tenun Hinggi Kombu. Hinggi sendiri berasal dari bahasa Sumba yang berarti selembar kain, dan Kombu artinya warna merah,” Ungkap Jonathan.
2. Tenun untuk menggambarkan status sosial masyarakat Sumba
Alasan berikutnya mengapa orang Sumba menenun yaitu untuk menggambarkan status sosialnya. Jadi, sambung Jonathan, orang Sumba menenun tidak hanya untuk persembahan kepada Tuhan, melainkan juga menggambarkan status sosial dan keperluan acara adat. Masyarakat Sumba pada tahun 1900an mengalami pergeseran nilai tenun yang ditandai pula dengan motif berbeda.
Contohnya adalah tenun bermotif Patola Kamba dengan gambar bunga-bunga dan merupakan turunan atau diadopsi dari Patola India. “Bisa dilihat bahwa kain yang dulunya betul-betul digunakan untuk persembahan kepada Tuhan dan bagian dari ritual yang sangat sakral, sekarang sudah mulai bergeser. Mulai dari untuk penggambaran status sosial,” kata Jonathan.
3. Tenun untuk memenuhi kebutuhan pasar
Pada tahun 1970an, kain tenun tidak lagi digunakan untuk ritual keagaamaan ataupun status sosial masyarakat melainkan untuk memenuhi perekonimian masyarakat sekitar. Bahkan, dengan motif yang beragam, kain tenun Sumba bisa dihargai dengan harga yang cukup fantastis yakni bekisar 5 juta rupiah.
Meski dibadrol dengan harga yang mahal dengan tetap mempertahankan produksi secara tradisional, peminat kain tenun Sumba juga tidak pernah sepi terutama ketika musim liburan. Inilah sebabnya hingga kini masyarakat Sumba Timur, NTT masih tetap memberdayakaan kerajinan kain tenun.