I Gusti Ngurah Made Sukawana-PT. Bali Mitra Medika
Nasib tak bisa di pastikan. Yang hanya bisa menjawab adalah seberapa besar kita membangun semangat untuk terus berjuang di setiap peluang. Di sisi lain, kerja keras dan tanpa putus asa adalah landasar dasar dari setiap tapakan arah langkah.

Kisah inspiratif yang turut mewakili pernyataan itu mampu digambarkan oleh sosok I Gusti Ngurah Made Sukawana yang mampu membangun sebuah perusahaan PT Bali Mitra Medika. Pria paruh baya tersebut memiliki beragam pengalaman hidup tentang perjalanannya menyusuri ruang-ruang kehidupan yang tak bisa dipungkiri mampu tuk kita petik buah pelajarannya. Berkawan dengan kegigihan menjadi pemacu semangat untuk terus bekerja keras dalam meraih kesuksesan. Karena baginya sukses adalah milik siapa saja yang mau menggapai asa lewat kerja keras serta konsistensi.
Sejak kecil, I Gusti Ngurah Made Sukawana terlahir sebagai anak desa. Hidup pun sederhana dan berkecukupan yang suka atau tidak wajib untuk disyukuri dari penghasilan kedua orang tua sebagai seorang pedagang dan bertani. Kisah pilu turut ia rasakan. Berbeda dengan kebanyakan anak-anak sebaya, I Gusti Ngurah Made Sukawana, harus bisa merasakan kasih sayang hanya dari seorang Ibu. Sebab, Ayahnya meninggal ketika dirinya baru menginjak Sekolah Dasar (SD) kelas IV. Segala kebutuhan, baik dari biaya pendidikan serta kebutuhan sehari-hari bersumber dari sosok Ibu.

Kesibukan yang kian menjadi rutinitas demi menghidupi roda perekonomian keluarga, mengharuskan I Gusti Ngurah Made Sukawana tidak begitu dekat dengan sosok Ibu. Karena ketidakmampuan Ibu untuk membiayai sekolah, akhirnya I Gusti Ngurah Made Sukawana mau tak mau harus keluar kota meninggalkan desa. Masa itu di tahun 80-an, sejak dirinya sudah kelas IV SD, ia mendapat tawaran baik dari Pamannya untuk bisa melanjutkan pendidikannya di Kalimatan. Kesempatan itu ia manfaatkan sebaik-baiknya, meski begitu berat karena harus meninggalkan ibu seorang diri di desa.
Namun, meski demikian, kondisi dan situasi itu pula yang diakuinya menjadi guru yang baik. “Dari kecil jujur saja, saya ini anaknya jarang bergaul. Orang tua sebagai pedagang sekaligus petani. Karena ayah meninggal sejak saya kecil, jadinya saya harus hidup dan sekolah bergantung dari sosok Ibu. Sehingga, rasanya sih saya tidak begitu terlalu dekat dan mengenal orang tua. Karena memang dari kecil sudah hidup mandiri. Jadi karena kondisi ekonomi susah dan orang tua sibuk bekerja. Jadi sangat jarang bersama orang tua,” tutur I Gusti Ngurah Made Sukawana mengenang.
Seorang anak desa yang sebelumnya kuper (kurang pergaulan, Red), mulai berubah secara sikap maupun pemikirannya. Pengalaman tinggal bersama Paman di tanah perantuan mampu membentuk kepribadiaan I Gusti Ngurah Made Sukawana lebih dewasa. Setelah menamatkan SMP, pria yang lebih akrab disapa Sukawana ini kembali mendapat tawaran baru dari keluarganya. Ada dua pilihan saat itu; ikut bersama mertua kakaknya atau ikut bersama kakak misan di Jawa tengah. Akhirnya keputusan Sukawana memilih di Jawa Tengah hingga menamatkan sekolah SMA di Banyumas.

“Karena kebetulan kakak saya semua sudah bekerja dan mampu membiayai secara ekonomi pun biaya sekolah saya, akhirnya saya memutuskan untuk coba kuliah D3 di Bandung dengan jurusan Analisis Kesehatan di bidang Laboratorium,” imbuh Sukawana. Jalan hidup yang diakuinya sendiri tidak mungkin bisa dilakukan. Sebab, memilih konsentrasi pendidikan di bidang kesehatan adalah hal yang baru dan tidak mungkin bisa dijalani oleh seorang anak desa sepertinya. Namun, stigma tersebut mampu ia tepis dengan keseriusan, semangat belajar yang besar, hingga mampu menamatkan pendidikan perguruan tinggi sesui harapan.
Namun pencapaian itu bukanlah akhir dari sebuah pencapaian kesuksesan. Usai dari Bandung, Sukawana pun memilih kembali ke Bali untuk mengadu nasib dari bekal ilmu yang dikantonginya. Beberapa pekerjaan yang sesuai dengan besik keilmuan saat kuliah coba ia dekati. Namun, semua lamaran pekerjaan itu di tolak. Meski demikian, hal itu tidak mengurungkan niat dan semangatnya untuk terus berjuang. Sambil menunggu panggilan lain dari beberapa perusahaan, Sukawana memilih jalur pekerjaan lain yaitu sebagai seorang KERNET atau kondektur angkutan umum di Kota Denpasar.

“Saya bersama saudara misan ini coba ke jalur pekerjaan lain. Waktu itu saya jadi KERNET-nya. Jadi sambil menunggu lamaran pekerjaan, selama 3 bulan saya jadi KERNET. Dan pengalaman jadi KERNET dulu memang asyik. Karena kebetulan juga saat itu belum terlalu banyak persaingan. Jadi penghasilannya juga cukup. Ya enaknya ketika kita dapat tamu bule, pulangnya kita bisa makan sate,” aku Sukawana sambil tersenyum sumringah. Hingga akhirnya, tak juga di sangka oleh Sukawana, kompetensi pendidikan yang dipelajari selama masa kuliah di terima di salah satu perusahaan di bidang farmasi dan kosumer yaitu PT Dos Ni Roha. Sukawana di terima dengan jabatan kerja sebagai salesman di bagian diagnostik yang bertanggung jawab kepada beberapa wilayah kerja, diantaranya ; Denpasar, Kupang, Flores, dan Tim-tim.
Keseriusan dan tanggung jawab dalam bekerja, sungguh-sungguh ia lakoni sejak tahun 1992. Bahkan sempat bekerja dan mengemban tugas di beberapa daerah, mesti harus meninggalkan keluarga kecilnya yang saat itu anaknya masih berusia 10 bulan, Sukawana tetap bekerja dengan jujur dan loyalitas. “Ya waktu itu motor sendiri tidak punya ya. Untungnya, paman ikut membantu saya dengan menjual sapi untuk membantu memberikan modal kredit sebagai uang muka. Dan juga tuntutan kerja, sejak tahun 1992 sampai 1997, saya bekerja pindah-pindah, bahkan harus meninggalkan anak yang baru berusia 10 bulan,” kenang Sukawana.
Hingga sejak tahun 2009, Sukawana pun dengan berat hati harus memilih untuk keluar dari perusahaan yang sudah sangat banyak menempa banyak ilmu. Alasan yang tidak bisa ia pungkiri, keluarga adalah hal yang paling berarti baginya. Pengalaman sejak kecil, tak ingin ia ulangi di masanya. Intensitas waktu perjumpaan bersama keluarga, pun kepada lingkungan sosial, merupakan bagian penting dan tak bisa ia tinggalkan. “Sebelum keluar saya sudah terlebih dahulu membangun hubungan baik dengan konsumen atau pelanggan-pelanggan saya sebelumnya. Dan mereka lah yang sebenarnya membantu saya. Karena bagi saya, aset kita yang paling utama untuk jadi pengusaha itu adalah pelanggan,” tuturnya.


Selain membangun hubungan emosional dengan banyak relasi, keyakinan Sukawana untuk merintis usaha sendiri, juga diperkuat dengan sistem kerja kolektif yang ia yakini mampu berdampak positif. Dalam artian, kesadaran seseorang memberlakukan pekerjaan atau profesi sebagai ruang interaksi untuk saling membantu serta jujur kepada setiap relasi. “Saya berpikir sederhana dan mengalir begitu saja. Jadi intinya adalah bagaimana saya harus berbuat baik dan jujur kepada pelanggan. Sekali pun itu rugi, tapi saya akan tepati janji. Saya tidak pernah menghitung rugi. Komitmen diri. Jadi yang paling susah itu adalah mencari kepercayaan. Jadi mungkin rejekinya tidak disini, tapi ada di tempat lain,” tegas Sukawana.
Atas dasar keyakinan itu, PT. Bali Mitra Medika yang beralamat di Veluvana Residence, Jl. Raya Anggungan No.Kav 7, Lukluk, Kec. Mengwi, Kabupaten Badung, ia dirikan sejak tahun 2013 yang sudah beroperasi hingga saat ini. Darinya, pelajaran lain yang bisa di petik khusus kepada generasi muda adalah memanfaatkan kreativitas dan hidup dalam lingkup yang baik pastinya akan lebih maju. Selain bisa memanfaatkan peluang dengan baik, khususnya di Bali, anak-anak muda hendaknya jangan berpatokan untuk mencari penghidupan di bidang pariwisata saja. Karena rasio daripada persaingan di dunia pariwisata ini sangatlah ketat. Dan masih banyak sektor lain yang mesti harus dijajaki dan di kembangkan lagi. Termasuk di sektor farmasi dan konsumer yang di rintis oleh Sukawana. Yang tentu sangat bermanfaat untuk banyak orang lewat penyerapan tenaga kerja baru serta mampu memajukan kehidupan masyarakat Bali.
