Hukum Pawiwahan Melalui Video Call, Sah atau Tidak?

Hukum Pawiwahan Melalui Video Call, Sah atau Tidak?

Prosesi pawiwahan dilangsungkan untuk menyatukan hubungan dalam ikatan yang sah. Terdapat sejumlah syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, salah satunya adalah rangkaian proses pakalan-kalan dalam upacara pawiwahan yang dilaksanakan dan telah mendapatkan restu dari kedua orang tua mempelai, prajuru setempat serta disaksikan oleh dua orang. 

Umumnya, proses upacara pawiwahan / pernikahan dilakukan dalam satu tempat di mana calon mempelai, pamuput, wali dan saksi berkumpul di tempat yang sama. Namun karena disebabkan oleh suatu hal dan seiring berkembangnya teknologi, prosesi upacara pernikahan kini bisa dilangsungkan melalui video call.

Meski praktiknya sudah banyak dilakukan, masih timbul pro dan kontra di kalangan masyarakat awam. Banyak yang meragukan keabsahan hukum upacara pawiwahan melalui video call.

Agar tidak keliru dalam memahaminya, berikut penjelasan tentang hukum pawiwahan melalui video call.

Hukum Pawiwahan Melalui Video Call
Pada tanggal 20 Oktober 2023 di desa Nungnung, titiang (Jro Mangku Gde I Gede Sugata Yadnya Manuaba) bersama pajuru manggala desa adat setempat seperti Kelihan Desa (Sang Nyoman Sutena), Kelihan Desa Banjar Kiadan (I Wayan Roni), pengantin laki-laki (I Nyoman Budi Kurniawan) dan para saksi-saki serta kerabat dari pihak mempelai perempuan (Ni luh Prisca Permatasari). Dalam kesempatan tersebut dapat ditarik suatu kesepakatan dan mengatakan hukum pawiwahan dengan Nyasa Rupa bagi pihak mempelai wanita menggunakan seperangkat rantasan dan subeng, hal ini dilakukan karena pihak wanita mengalami pecah air ketuban sampai dalam proses persalinan di rumah sakit Mangupura (Kapal). Maka dari itulah kami memutuskan untuk tetap melakukan upacara pawiwahan melalui video call ini. Hukum pawiwahan melalui video call adalah sah. 

Berbeda dengan pendapat tersebut, dalam beberapa pandangan warga disebutkan bahwa upacara pawiwahan melalui video call tidak sah. Sebab, sebagian masyarakat khawatir timbul ketidaksesuaian antara mempelai laki-laki dan perempuan karena mereka tidak ada dalam satu tempat. 

Baca Juga : Penghayat Puja Bhakti “Pahoman Sang Hyang Agni” Doa untuk Keselamatan Dunia

Namun, pendapat ini saya sanggah bersama prajuru desa dan bekas Jro Bendesa. Mayoritas mengatakan upacara pawiwahan yang dikendalai oleh suatu sebab boleh tidak satu lokasi melakukan upacara pawiwahan, selama pihak-pihak yang terlibat bisa berkomunikasi dengan baik, serta Tirtha Pemuput Upacara Pekalan-kalan di bagi menjadi dua tempat, satu dipercikan untuk mempelai yang laki-laki dan yang satunya lagi dibawakan ke rumah sakit untuk mempelai wanitanya. Semua proses upacara pawiwahan dilakulan bersamaan sampai selesai. 

Kemudian, Tri Manggalaning Yadnya (pihak mempelai kedua belah pihak, Pemuput dan Tapeni) beserta saksi harus memastikan bahwa tidak ada penipuan dalam komunikasi jarak jauh ini. Selama prosesi pawiwahan melalui video call dilakukan dengan lancar tanpa terputus, maka sudah bisa dinyatakan sah.

Jro Mangku Gde I Gede Sugata Yadnya Manuaba menegaskan, “Boleh melakukan upacara pawiwahan, sekalipun di posisi berjauhan, yang melibatkan pengantin pria, wali dan saksi. Dan itu dilakukan melalui internet. Sehingga memungkinkan untuk dilakukan upacara pawiwahan dalam waktu bersamaan, dan dianggap sah jika kedua belah pihak menyetujuinya. Meskipun hakekatnya mereka berjauhan. Mereka bisa saling mendengar percakapan dalam satu waktu. Sementara saksi bisa melihat pengantin wanita dan pengantin lelaki. Mereka bisa menyaksikan ucapan keduanya dalam waktu yang sama,” tegasnya.

Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum upacara pawiwahan melalui video call ini adalah sah selama sesuai dengan kesepakatan prajuru desa bersangkutan dan syaratnya terpenuhi. 

Pedoman Pawiwahan:

  1. Mempelai laki-laki, Ia harus hadir dan tidak boleh diwakilkan.
  2. Mempelai perempuan yang statusnya jelas untuk diperistri.
  3. Wali dari upacara pawiwahan (orang yang berhak menikahkan anak perempuan dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya) bagi mempelai perempuan.
  4. Dua orang saksi berjenis kelamin laki-laki yang beragama Hindu, sudah memiliki KTP, berakal, adil, dan merdeka.
  5. Ada proses pemakaian cincin yang dilakukan bersamaan antara mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki.

Sumber : I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *