Luh Ninik Suryani – UD. Surya Jaya
Masa kecil yang kurang beruntung, menjadi awal ‘bahasa’ sebagian besar orang-orang yang tidak mengenal pantang menyerah dalam meraih kesuksesannya. Sudah menerima kerasnya kehidupan di usia yang masih polos, Luh Ninik Suryani pun tak mampu menghindari kondisi sulitnya tersebut bersama keluarga, selain menjalani dan harus melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Namun Luh Ninik tidak pernah berhenti harapan, seperti ada sebuah ungkapan mengatakan “Sesuram apapun masa lalumu, masa depanmu masih suci”, kesempatan untuk memperbaikinya pun masih begitu terbuka lebar.
Sebagai putri dari orangtua yang hanya bekerja sebagai buruh pabrik minyak di Singaraja, Luh Ninik Suryani, memaklumkan dari segi ekonomi, keluarganya tergolong keluarga tidak mampu. Anak pertama dari enam bersaudara ini pun, hanya menyelesaikan sekolah setingkat SMA, kemudian harus merantau, berharap menemukan sebuah harapan baru yang terbuka lebar untuk masa depannya.
Lahir di Singaraja, 11 juli 1969, Luh Ninik kemudian mencoba peruntungan dengan bekerja di sebuah toko bangunan. Pengalaman pertamanya dalam bekerja, ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya, untuk memperoleh pengalaman dan ilmu baru, yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
Memutuskan untuk menikah setelah menemukan tambatan hati, bisa menjadi salah satu keputusan terbaik, anak pasangan dari Nyoman Candra Wiraatmaja (Ayah) dan Nyoman Landri (Ibu) ini. Pasalnya Sang Suami yang memiliki background di bidang arsitektur, pun memberi dukungan untuk membangun sebuah usaha, agar tidak sepenuhnya menggantungkan penghasilan mereka dari gaji bulanan. Maka di tahun 1997, dibangunlah usaha toko bangunan di Jalan Sidakarya No.142, Sidakarya, Kec. Denpasar Selatan, yang disekitarnya masih hanya terdapat sawah di masa itu.
Ide untuk terjun di usaha toko bangunan, awalnya dari pekerjaan suami yang erat hubungannya dengan penggunaan material bangunan. Dari bahan material yang dibeli, kemudian tersisa dan semakin menumpuk di rumah. Gagasan cemerlang pun datang, dan memutuskan untuk mendirikan usaha tersebut.
Tantangan mulai dirasakan Luh Ninik dan suami karena terkendala modal, pertama, mereka memilih membangun usahanya di daerah pinggiran kota, di atas lahan kosong dengan kontrak selama 12 tahun. Kedua, kesulitan meyakinkan supplier untuk mendapatkan barang, sehingga ia dan suami untuk sementara mengambil barang yang tersisa di rumah, untuk dijual kembali. Dari sana, tokonya semakin hari mulai didatangi oleh para supplier.
Demi menjaga kepercayaan yang telah diberikan, toko pun kemudian dikelola oleh Luh Ninik sepenuhnya, karena suami yang lebih memiliki passion bekerja di lapangan, menangani proyek-proyek pembangunan. Dengan kondisi yang masih merintis, Luh Ninik tak pernah memegang keuntungan dari hasil yang ia dapatkan berjualan selama sebulan, agar mampu mengalokasikan barang yang dibeli selanjutnya.
Masih tanpa mempekerjakan karyawan, sesekali suami ikut mengirim barang bila sedang memiliki waktu luang. Secara continue, dengan tetap tekun dalam bekerja, tanpa memperhitungan omset yang didapat, tanpa terasa “UD. Surya Jaya” mampu berkembang sesuai dengan harapan Luh Ninik dan suami.
Usaha yang sebelumnya hanya demi mengisi waktu sembari mengasuh anak, berkembang pesat seiring kebutuhan masyarakat pada material bangunan. Para supplier pun mulai berani untuk memberikan pembayaran setelah pengambilan barang. Setelah masa kontrak habis, dan tidak bisa diperpanjang, Luh Ninik pun memutuskan membeli tanah di sebelah toko yang lama. Jumlah tenaga dalam usaha pun kian bertambah, dan armada yang dimiliki menjadi tiga buah kendaraan operasional.
Menyeimbangkan Hidup Dengan Bersyukur
Meski masa kecilnya tidak seberuntung masa kecil anak-anak pada umumnya, namun di mata Luh Ninik, orangtua adalah sosok ‘dewa’ di kehidupan nyata yang menjadi panutannya. Rasa sayangnya tersebut ia tunjukkan dengan membiayai adik-adiknya, saat almarhum ayahnya sedang sakit.
Dari pengalaman tersebut, ia mulai bertekad untuk mengubah nasibnya. Dengan berbekal keyakinan dalam diri, ia merangkul saudara untuk membangun harapan pada masa depan yang lebih baik sampai saat ini, ia telah berumah tangga.
Pengalaman-pengalaman tersebut pun tak jarang Luh Ninik bagi kisahnya kepada anak-anaknya, agar menjadi sebuah pelajaran dan menghadapi tantangan kedepannya, dengan dibekali daya pikir dan kemampuan dalam memahami setiap makna dalam hidup.
Doa pun menjadi pengiring yang tidak bisa dilewati, menjadi awal dan akhir Luh Ninik dalam menjalani hari-harinya. Dalam doa, ia tidak meminta sesuatu yang khusus, ia memilih untuk lebih banyak bersyukur atas nikmat yang telah ia terima dan petunjuk-petunjuk, bila ia mengalami situasi yang menimbulkan kerisauan.
Jalan lain yang dilakukan Luh Ninik agar lebih menyeimbangkan hidupnya, dengan cara bermeditasi. Dalam meditasi ia diajarkan untuk memusatkan pikiran kepada Sang Pencipta dan berserah atas apapun yang menjadi keinginannya dan mengembalikan segala keputusan, yang sudah pasti adalah terbaik untuk hidup Luh Ninik.
Rutin dan memiliki keyakinan dalam melaksanakan kegiatan rohani tersebut, telah dirasakan oleh Luh Ninik, anugerah akan kemudahan-kemudahan jalan yang dibukakan kepadanya. Tanpa disadari, satu persatu pertolongan maupun rezeki menghampirinya, hingga ia mampu keluar dari belenggu-belenggu yang mungkin akan membuat hidupnya terpuruk.
Pengetahuan ini pun diharapkan mulai menjadi pilihan generasi muda agar menanamkan keyakinan pada hati atas pilihan hidupnya. Bila ada tantangan didepannya, sudah menjadi hal biasa dalam dunia yang kita tinggali. Namun mampu melewati ujian tersebut dan berhasil lulus dengan baik, barulah menjadi hal yang luar biasa. Karena kita telah meninggalkan sosok yang lama, menjadi sosok yang lebih baru dan siap untuk naik ke level selanjutnya.