Sesuatu berwujud harapan dan doa, akhirnya nyata bisa dirasakan. Pengalaman tersebut dialami I Nyoman Parisudha, salah satu orang sukses yang menyimpan cerita perjalanannya yang merasakan hidup sulit sejak masa kecil. Namun, semuanya berubah berkat dorongan besar dari orang tua yang selalu percaya bahwa adanya harapan baik ketika dibarengi dengan niat dan kerja keras. Hingga akhirnya ia mampu bangkit dari kungkungan kondisi yang rumit dan mengubah kondisi ekonomi. Tidak hanya dirinya sendiri, namun juga turut dirasakan oleh sejumlah kelompok tani yang tergabung dalam inisatif usaha pemberdayaan yang dikenal dengan nama KSU Putra Kubayan Bebengan.
Tidak ada pelajaran yang istimewa dari sosok orang tua I Nyoman Parisudha. Terlahir di tengah keluarga yang mata pencaharian sebagai seorang petani, membentuk pola hidup pun seturut dengan kewajibannya. Setiap harinya, Alm. Ayah I Nyoman Nawa hanya sibuk bekerja menggarap ladang yang tidak seberapa demi menghidupi 7 (tujuh) orang anaknya. Nyoman Parisudha mesti terbiasa dengan mengisi waktu untuk turut bekerja membantu. Meski terlahir sebagai anak bungsu, tidak ada yang mesti diistimewakan. Semuanya mesti bekerja demi keberlangsungan hidup keluarga. Nyoman Parisudha mengatakan, dirinya sudah terlatih untuk bekerja di sawah, mengurus hewan peliharaan, ikut mengurus sawah hingga musim panen tiba.
“Didikan orang tua memang sangat keras, ya sesuai dengan kondisi kami saat itu. karena dari keluarga miskin, jadi memang sejak kecil kami sudah kerja ke sawah. Kalau tidak, kami tidak bisa makan,” kenangnya. Karena kondisi yang semakin sulit, lanjut Nyoman Parisudha, pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sempat ditinggalkan. Ia mesti ikut merantau ke Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah bersama salah satu saudaranya. Di usia belasan tahun, Nyoman Parisudha mesti merasakan getirnya hidup sebagai pekerja lahan baru untuk sawah dengan lahan garapan sangat luas. Tidak hanya itu, ia juga mesti mengerjakan bendungan untuk pengairan sawah yang sudah mereka kerjakan di awal.
“Selama 2 tahun saya merantau. Memang sudah dijanjikan waktu itu untuk kembali melanjutkan sekolah hingga menamatkan SMA. Waktu transmigrasi, kehidupan memang sangat sulit. Ya syukurnya sejak kecil kami sudah terbiasa dengan kehidupan yang keras. Sehingga naik turun gunung, mencari ubi untuk makan dan dicampur dengan beras, sudah biasa kami lakukan,” tutur pria paruh Baya itu. Berangkat dari rentetan kisah masa kecilnya itu, bagi Nyoman Parisudha pengalaman adalah bekal yang menyelamatkan kehidupuan yang ia rasakan hari ini. Terlebih khusus didikan dari orang tua. Apapun masalah hari ini dan nanti, jangan terlalu lama meratapi. Hidup harus terus berjalan dan biarkan waktu yang menjadi obatnya. Seperti konsep di awal, orang tuanya hanya bertindak apa adanya yang menurut mereka memang harus dilakukan untuk menghidupi keluarga.