I Ketut Budiada & Ni Made Srimanik – UD. Budi Permata
Lahir di Buleleng, I Ketut Budiada merupakan anak keempat dari 10 bersaudara, dari orangtua sebagai petani yang hanya penggarap lahan milik orang lain atau disebut dengan penandu. Dengan pekerjaan utama yang hanya mengharapkan rezeki dari kebun milik orang, tentunya uang yang dihasilkan tidak seberapa. Hidup sehari-hari pun seadanya, bahkan dibawah kata sederhana.
Masa kecil dengan kondisi yang susah, Ketut Budiada harus ikut membantu pekerjaan orangtua di kebun, mencari rumput untuk untuk pakan sapi, saat sepulang sekolah. Sekali lagi, sapi tersebut bukanlah milik mereka, mereka hanya dibayar untuk memelihara dan merawat sapi tersebut.
Sepulang bekerja dengan kondisi tubuh penuh keringat dan rasa lelah yang tak terbendung, keluarga tersebut harus tinggal dalam suasana tempat tinggal mereka yang masih berupa gubuk. Namun dibawah atap yang sederhana tersebut, Ketut Budiada masih bisa merasakan kehangatan kasih sayang orangtua, khususnya dari Sang Ibu yang berupaya bersikap adil kepada 10 orang anaknya, seperti saat pembagian makanan yang dilakukan sama rata. Bahkan ayah dan ibunya rela mendapat jatah lebih sedikit, demi mencukup kebutuhan anak-anaknya.
Meski serba kekurangan, pada akhirnya Ketut Budiada pun akan sedih juga berjauhan dari orangtua, saat ia menginjak SMP. Ia harus ikut pamannya ke Denpasar pada tahun 1977 dan melanjutkan sekolah disana. Rutinitasnya pun tak sedikit berbeda saat masih tinggal bersama orangtua, ia tetap berusaha mandiri dan membantu paman dan bibinya yang telah berkenan membayarkan uang sekolah dan memberinya makan.
Berpindah – Pindah, Demi Bisa Terus Sekolah
Sebelum berangkat sekolah, Ketut Budiada bangun pk. 04.00 pagi, agar bisa membantu paman dan bibi terlebih dahulu, seperti mencuci dan mengepel. Namun meski nyatanya ia mendapat tumpangan gratis untuk tinggal, ia mulai tidak kerasan karena sikap paman dan bibi yang mulai membuatnya timbul perasaan tidak enak. Ia pun memutuskan untuk hanya selama dua tahun melanjutkan SMP di Denpasar, setelah itu ia ikut kerabat di Gianyar dan melanjutkan SMP.
Di bangku SMA, Ketut Budiada berusaha mengalihkan kesedihannya karena kembali jauh dari orangtua untuk bersekolah SMAN 1 Singaraja, dengan cara memperluas circle pertemanannya dan fokus belajar sebaik-baiknya, hingga tamat pada tahun 1983. Ia kemudian kembali ke Denpasar untuk mengembangkan skill-nya dengan mengikuti kursus mengetik dan les bahasa Inggris, sebagai modal mencari kerja.
Di tempat kursus, tak serta merta Ketut Budiada mampu membayar kursus dengan lancar, ia harus bekerja di tempat kursus tersebut sebagai cleaning service atau tukang perbaiki mesin ketik terlebih dahulu. Setelah lulus, ia mencoba melamar di beberapa akomodasi penginapan dan ia diterima di Bali Intan Cottages pada tahun 1984.
Keinginan Ketut Budiada untuk melanjutkan sekolah, sejujurnya masih sangat ada. Namun mengingat adik – adiknya juga membutuhkan biaya untuk kebutuhan yang sama, ia pun memilih untuk mengalah dan memilih bekerja, meski posisi yang ditempatkan saat itu hanya sebagai tukang piring. Setidaknya ia sudah mulai bisa meringankan beban orangtua, dengan ikut menanggung biaya sekolah mereka. Adik-adik Ketut Budiada akhirnya bisa menyelesaikan pendidikannya hingga SMA, kemudian mereka memilih ikut jejak kakaknya untuk merantau ke Denpasar.
Pensiun Setelah 17 Tahun Berkecimpung di Perhotelan
Setelah 17 tahun lamanya dari tukang cuci piring, waiter dan staff bar, ada peraturan baru yang ditetapkan oleh pihak hotel, tentang masa kerja pegawai 15 tahun yang diperbolehkan untuk pensiun. Ia pun mengambil kesempatan tersebut dan mundur bersama pesangon yang diberikan pada tahun 2001.
Tanpa pikir panjang, pesangon tersebut kemudian dijadikan modal oleh Ketut Budiada untuk membuka usaha. Bila “lulusan” pariwisata biasanya membuka usaha kuliner atau akomodasi penginapan, ia lebih memilih membuka toko material bangunan, karena kondisinya masih ada tanggungan biaya yang harus dikejar dan modal pun tak mencukupi.
Meski Ketut Budiada dan istri yang juga bekerja di ranah pariwisata tak paham tentang material bangunan.
Mereka fokus mempersiapkan modal untuk membeli lahan untuk dibangun toko atas jerih payah dan kemandirian finansial mereka sendiri. Toko bernama “UD. Budi Permata” pun didirikan yang beralamat di Jl. Raya Pemogan No.199, Pemogan, Denpasar. Dari usaha perdana ini, Ketut Budiada dan istri yang sebelumnya hanya di tinggal di sebuah kost tanpa tempat tidur, benar – benar sukses mengubah nasib mereka.
Sampai kapan pun, Ketut Budiada mengaku tak pernah percaya akan dapat mencapai posisi ini. Rasanya seperti mimpi, bahwa kini ia telah memiliki usaha sendiri, dan melahirkan beberapa usaha lainnya yakni properti perumahan, tanah kavling dan toko. Bila ditanya apa kuncinya, ia menjawab dengan sederhana yakni selalu jujur di setiap pekerjaan yang diambil dan tidak pernah pelit berbagi ilmu maupun materi dengan sesama dalam kondisi kekurangan sekalipun. Sikap ini ia teladani, karena tidak sedikit rekan-rekannya yang tak ragu memberikan saran dan kritik kepadanya sebelum ia sukses menjadi pengusaha seperti saat ini.
Untuk orangtua, Ketut Budiada tak bisa melewatkan kesempatannya begitu saja, selagi ayah dan ibunya masih diberi kesehatan di usia mereka yang sudah senja, ia memberikan sebidang lahan perkebunan atas nama orangtua. Setelah memberikan hasil, kemudian dikumpulkan untuk modal upacara agama yang tidak kemungkinan juga membantu kerabatnya yang lain.
Sang Pencipta telah memberikan anugerah demi anugerah kepada Ketut Budiada dan keluarga. Dalam hal ini, ia tidak mau takabur bahwa apa yang dimiliki saat ini hanyalah titipan, bahkan nafas yang ia hembuskan dan mengalir dalam tubuhnya, juga hanyalah pinjaman dari Sang Pencipta, yang dapat beliau tarik kembali, bila tiba saatnya.
Ketut Budiada dan keluarga pun sebagai mahluk ciptaanNYA, sudah berkewajiban untuk memanjatkan puji syukur dan ucapan terimakasih kepada Sang Pencipta dan leluhur, sesuai dengan keyakinannya sebagai umat Hindu Bali. Ia pun tak pernah lelah untuk menyeimbangkan hidupnya, dengan bekerja dan menanamkan karma baik kepada sesama. Terutama kepada generasi penerus bangsa, ia berharap pengalamannya yang tak dijumpai di pendidikan formal, mampu diresapi dan diadaptasikan pada kondisi kapan pun dengan semangat yang terus ditularkan kepada generasi-generasi selanjutnya.