Setiap 20 September, orang Bali umumnya lebih ingat dengan peristiwa Puputan Badung. Masih jarang yang tahu, 20 September juga menjadi hari bersejarah bagi rakyat Bali karena harga dirinya sebagai pejuang handal kembali terangkat. 20 September 154 tahun silam, laskar rakyat Banjar di Buleleng berhasil mengalahkan serangan ekspedisi militer Belanda. Meski sebulan kemudian perlawanan laskar Banjar itu berhasil ditaklukkan, kemenangan di Banjar itu pantas untuk senantiasa dikenang.
Pada tahun 1860, Belanda sudah menancapkan kekuasaannya di Buleleng. Belanda mengangkat Gusti Ngurah Ketut Jelantik sebagai regent dan diberi gelar raja di Buleleng dengan melaksanakan perintah Asisten Residen Buleleng. Di daerah Banjar, yang ditunjuk memangku jabatan punggawa yakni seorang Brahmana yang masih muda usianya, Ida Made Rai. Karena suatu sebab, Ida Made Rai diberhentikan dari jabatannya sebagai punggawa dan diasingkan sementara ke Banyuwangi. Penguasa Belanda menunjuk Ida Ketut Anom, seorang Brahmana dari luar Banjar sebagai punggawa di Banjar menggantikan Ida Made Rai. Keputusan ini mendapat tantangan keras dari penduduk Banjar dan desa – desa sekitarnya. Mereka menganggap penunjukan seorang punggawa dari luar daerah Banjar bertentangan dengan tradisi dan adat yang berlaku sejak dulu.
Baca Juga : Membangun dan Mengoptimalkan Potensi Bersama Melalui Koperasi Sari Dana Mertha
Usai menjalani masa pembuangan nya, Ida Made Rai kembali ke Banjar. Sadar golongan Brahmana di Banjar serta pemuka rakyat di desa sekitarnya tidak menerima kepemimpinan Ida Ketut Anom, Ida Made Rai pun menyatakan penentangan terhadap pemerintah Belanda. Sikap Ida Made Rai mendapat dukungan dari pemuka rakyat Banjar dan desa – desa sekitarnya. Gerakan Ida Made Rai pun tumbuh menjadi gerakan rakyat Banjar dan desa – desa sekitarnya.
Pada bulan April 1868, pemuka Rakyat Banjar bersama Ida Made Rai disertai ratusan rakyat menghadap Regent /Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik di Singaraja. Kedatangan rakyat itu menuntut agar Ida Made Rai segera diangkat menjadi punggawa Banjar. Seperti ditulis Ide Anak Agung Gde Agung dalam buku Bali Pada Abad XIX, karena didesak Asisten Residen Eibergen yang berkuasa di Buleleng, Raja menolak permohonan itu. Rakyat Banjar pun tidak menghiraukan lagi perintah Raja dan secara terang-terangan membangkang. Misalnya, perintah untuk memperbaiki jalan tidak mereka hiraukan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pembangkangan yang dilakukan Ida Made Rai semakin menjadi-jadi. Hal ini memunculkan kekhawatiran Belanda akan mengganggu keamanan dan ketenteraman Buleleng. Karena itu diputuskan untuk mengirimkan ekspedisi militer keempat di bawah pimpinan Mayor W.E.F. van Heemskerk. Menurut Ida Anak Agung Gde Agung dalam buku Bali Pada Abad XIX, pasukan ekspedisi Belanda ini dibantu dengan satu divisi pasukan marinis, sehingga jumlah pasukan yang tergabung untuk menyerang Banjar sebanyak 800 orang. Sementara Regent / Raja Buleleng, Gusti Ngurah Ketut Jelantik menyediakan tenaga kuli pengangkut perbekalan dan persenjataan pasukan Belanda.
Ida Made Rai sempat hendak berdamai dengan Belanda. Menurut Ida Anak Agung Gde Agung, pada 19 September muncul ratusan rakyat Banjar di bawah pimpinan pemuka rakyat Kalianget, I Kamasan membawa barang – barang makanan dari Ida Made Rai dan rakyat Banjar yang dihadiahkan kepada pasukan Belanda. Mereka menyampaikan kepada Mayor Van Heemskerk dan Residen bahwa Ida Made Rai bersedia menyerahkan diri akan tetapi dengan syarat dia harus diangkat menjadi Punggawa Banjar. Tawaran ini tidak diterima oleh Residen dan malah I Kamasan ditahan berdasarkan alasan bahwa dia sudah dihukum penjara 12 tahun oleh Pengadilan Majelis Kerta dan kemudian dibawa ke salah satu kapal perang menunggu penyelesaian perkaranya. Setelah peristiwa itu, Residen mengirim ultimatum kepada Ida Made Rai untuk menyerah esok harinya. Jika tidak, Banjar akan diserang.
Ultimatum Belanda tidak membuat gentar Ida Made Rai. Tanggal 20 September 1868 pecahlah pertempuran antara pasukan Belanda dengan laskar Banjar dipimpin Ida Made Rai. Pertempuran di daerah Dencarik menyebabkan Letnan Stegmen dan 14 orang serdadu Belanda gugur. Sementara para tenaga pengangkut Belanda lari tunggang langgang. Apalagi banyak di antara tenaga pengangkut itu tertembak secara tidak sengaja oleh pasukan Belanda karena mereka tidak bisa membedakan mana tenaga pengangkut yang disediakan Raja Buleleng dan mana Laskar Banjar.
Pasukan Belanda pun memilih mundur menuju pangkalannya di Temukus, serangan pertama Belanda terhadap Banjar gagal. Mayor van Heemskerk bermaksud mengadakan serangan kedua terhadap Banjar keesokan harinya. Akan tetapi, tenaga pengangkut yang dijanjikan Raja Buleleng tidak muncul. Orang-orang Bali tidak bersedia lagi sebagai tenaga pengangkut karena takut menghadapi ganasnya perlawanan Laskar Banjar.
Baca Juga : Cendekiawan Bali yang Terus Gencar Berinovasi
Pada tanggal 3 Oktober 1868 kembali dilancarkan serangan kedua kalinya. Dalam serangan kali ini, pasukan Belanda mendapat bantuan 1500 pasukan tambahan dari Raja Buleleng serta 800 orang pasukan tambahan dari Pembekel Pengastulan, Wayan Tragi. Meski begitu, serangan ini pun berhasil dipatahkan oleh laskar Banjar yang bertempur dengan semangat bergelora dan bersenjatakan tombak terhunus. Belanda kembali menyerang Banjar pada 24 Oktober 1868. Kali ini, kekalahan berada di pihak Ida Made Rai. Pertahanannya hancur, banyak pasukan dan orang – orang dekatnya meninggal dalam pertempuran. Sejumlah desa yang sebelumnya mendukung perjuangan Ida Made Rai pun menyerah kepada Belanda.
Ida Made Rai dan pendukungnya kemudian mengungsi ke Mengwi. Belanda pun menggunakan siasat lain untuk menangkap Ida Made Rai. Ibunda Ida Made Rai diajak menuju tempat persembunyian Ida Made Rai di Desa Denkayu dengan perjanjian tidak akan menjatuhi Ida Made Rai hukuman mati atau menembaknya. Ida Made Rai akhirnya menyerah setelah dinasihati ibunya. Ida Made Rai bersama Ida Made Tamu dan Ida Made Sapan kemudian dibuang ke Priangan, Bandung. Sementara pemimpin – pemimpin lainnya seperti I Dade dan I Kamasan dihukum penjara. Kendati begitu, dua kali kemenangan laskar Banjar yang hanya bersenjatakan tombak cukup menampar muka Belanda. Kemenangan itu juga kembali mengangkat harga diri orang Bali setelah dua kali kemenangan yang diraih sebelumnya dalam Perang Jagaraga (1848) dan Perang Kusamba (1849).