Profesi Guru Penuh Berkat Membukakan Keberkahan yang Mengalir Hingga ke Anak Cucu

Profesi Guru Penuh Berkat Membukakan Keberkahan yang Mengalir Hingga ke Anak Cucu

Salah satu karakter yang mencirikan calon pemimpin masa depan ialah mereka yang mampu memimpin diri sendiri untuk tetap mengenyam pendidikan, apapun tantangannya. Seperti kisah I Dewa Made Oka Mertha, A.Md.Pd., Ketua Pengurus “Koperasi Serba Usaha (KSU) Mertha Nadi” semasa kecilnya. Setelah menyaksikan pupus harapan sang kakak untuk melanjutkan sekolah, ia berprinsip tak akan memiliki nasib yang sama. Ia tidak masalah harus jauh dari orangtua, dengan tinggal bersama sanak saudara dan mengerjakan apapun urusan domestik rumah tangga mereka, demi dibiayai sekolahnya.

Bila dibandingkan dengan zaman sekarang, ekonomi sudah jauh lebih maju, tidak seperti di zaman I Dewa Made Oka Mertha, pria kelahiran 27 April 1952 ini. Pekerjaan yang bisa diambil, mau tak mau hanya berkutat sebagai petani, pedagang dan beternak. Seperti orangtuanya yang bekerja sebagai petani dengan menggarap lahan hanya seluas 38 are dan 18 are. Padahal orangtua memiliki tuntutan tanggung jawab memenuhi kebutuhan 10 orang anak yang terdiri atas tujuh orang laki-laki dan tiga perempuan.

Ya, begitulah orangtua zaman dulu, sangat meyakini ungkapan “banyak anak banyak rezeki”, namun bila generasi yang menjadi tumpuan harapan tersebut akhirnya tak mampu disekolahkan dengan baik, bisa menjadi tantangan luar biasa juga untuk anak itu sendiri di masa depan. Bayangkan saja, I Dewa Made Oka Mertha yang saat itu masih SD, sudah mampu berpikir sedemikian rupa, tekadnya untuk tetap bersekolah pun tak bisa diganggu gugat. Akhirnya selama lima tahun ia disekolahkan oleh bibi, sekaligus tinggal di sana. Sebagai wujud terimakasih, ia rutin mengerjakan urusan domestik rumah tangga, seperti mencari makanan kambing, mencuci piring, menyetrika dan mengasuh balita.

Baca Juga : Anak Desa yang Menuntaskan Dharma Kepada Ayahnya Tercinta Untuk Menjadi Seorang Dokter

Sisa tahun selanjutnya, kondisi berubah memaksaskan I Dewa Made Oka Mertha harus berjuang sendiri menyelesaikan sekolah. Dikarenakan terjadi sebuah kejadian pelik yang menimpanya bersama sang bibi yang masih membekas dalam ingatannya hingga sekarang, sehingga memaksa I Dewa Made Oka Mertha harus segera keluar dari kediaman sang bibi.

Upaya I Dewa Made Oka Mertha selanjutnya ialah berjualan es lilin dan membantu teman-teman yang kesulitan mengerjakan PR Matematika, namun masih belum cukup untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan selanjutnya. Sembari memikirkan nasibnya, ia memilih mengisi waktu kosong dengan belajar memahat batu padas yang terkenal di Batubulan, Gianyar. Disaksikan oleh pamannya yang merupakan perawat datang dari Singaraja, ia ditawarkan untuk berangkat ke Singaraja dan bersekolah di sana atas biaya beliau. Tapi untuk bekal, pamannya belum bisa menjamin. Mendengar hal tersebut, bukan kendala berarti bagi I Dewa Made Oka Mertha, keesokan harinya ia lantas berangkat ke Singaraja, dengan tampilan apa adanya.

Tamat SMP, I Dewa Made Oka Mertha memikirkan upaya selanjutnya untuk memenuhi biaya pendidikan SMA. Bila putus sekolah hanya sampai di sana, bantuan dari bibi dan pamannya akan sia-sia, apalagi ia telah menemukan tekadnya menjadi seorang guru. Ia mencoba mendaftar di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri namun tak lulus, bila ia beralih ke swasta biaya yang dibutuhkan akan lebih besar. Temannya kemudian mengajak ke TGA (Taman Guru Anak) pada tahun 1969 yang lokasinya di Yayasan Perguruan Rakyat (PR) Saraswati Pusat Denpasar. Didominasi oleh perempuan, ia merasa tidak nyaman dan minder, akhirnya beralih STM pada Jurusan Mesin. Namun saat praktik lapangan, tak sesuai dengan ekspetasi, ia justru masih disuruh membersihkan radiator, karburator, busi, belum ada keterkaitan dengan mesin yang lebih mendalam. Untuk membiayai sekolahnya, I Dewa Made Oka Mertha, bekerja mencari es balok sejak jam 3 pagi untuk tetangganya yang menjual es serut. Setiap ada acara – acara tertentu, seperti pertunjukan drama permintaan es balok akan semakin tinggi. Bila ia tidak ke pabrik yang ada di Banjar Kayu Mas, ia akan mendatangi pabrik yang ada di Banjar Suci yang keduanya berlokasi di Denpasar. Setelah menyerahkannya pada tetangga, ia pun mendapatkan upah sebesar Rp. 50. Pada hari minggunya, karena dagangan tetangga libur, ia tetap bekerja dengan menjadi pedagang acung di area Pura Jagatnatha Denpasar dengan berjualan lontar, lukisan dan lain-lain, menawarkannya pada wisatawan Jerman dan Belanda. Saat tamat STM, berkat kerja kerasnya ia memiliki tabungan lebih, selain mampu melunasi biaya sekolahnya secara mandiri.

Pada tahun 1966, I Dewa Made Oka Mertha tiba di kota dengan julukan “Kota Pendidikan” tersebut. Ia tinggal di klinik puskesmas yang difasilitasi pemerintah ke keluarga pamannya sebagai tempat tinggal. Kemudian I Dewa Made Oka Mertha mendaftar sekolah ke SMP Serbaguna Tabok (sekarang SMP Negeri 2 Banjar) di Dusun Tabok, Kayuputih, Kec. Banjar, Kab. Buleleng. Seperti kata pamannya, selama tiga tahun, ia hanya ditanggung biaya sekolah, kemudian untuk makan dan bekal ke sekolah, lagi-lagi ia harus bekerja sebagai asisten rumah tangga, mulai dari mengangkat beras 5 kg, memasak nasi, mengurus ayam peliharaan pamannya hingga membersihkan ruang klinik. Pulang sekolah, setelah makan siang ia mengisi bak mandi dengan harus turun ke sungai, karena belum ada air PAM masuk. Tak jarang ada yang ingin membeli air padanya, ia dengan senang hati menjualnya untuk mendapat uang jajan.

Baca Juga : “Rektor Universitas PGRI Mahadewa Indonesia” Belajar Dari Sebuah Seni Untuk Menjalani Hidup Multidisiplin

Dianggap terampil berkomunikasi dengan wisatawan, I Dewa Made Oka Mertha mendapat tawaran sebagai guru honorer di SMP Negeri 2 Sukawati. Betapa bahagianya ia bisa mengajar di depan murid-murid yang begitu antusias dalam belajar. Ditambah ia sangat bersyukur, meski jalannya untuk menjadi guru penuh tantangan yang berliku, namun ia mampu menanggung adik-adik dan merenovasi rumah yang sebelumnya hanyalah dengan tiang bambu. Anugerah yang selanjutnya datang ialah saat istri, Ni Made Widiati yang notabenenya dari segi ekonomi lebih mapan daripada dirinya, bersedia dipersunting. Dengan nada suara bergetar, ia mengungkapkan “Saya tidak percaya, bahwa istri maupun keluarga beliau, bersedia menerima kondisi kemelaratan saya. Mungkin karena sudah jodoh dari Tuhan, semuanya begitu mudah, bahkan keluarga istri mendesak saya untuk segera menikahi Ni Made Widiati,” tutur I Dewa Made Oka Mertha.

Perubahan Nasib yang Signifikan Semenjak Menjadi Guru
Sejak 1975 mengajar, I Dewa Made Oka Mertha dihimbau dan ditarik LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Desa Batubulan, agar ia mengajar di desa asalnya. Kasihan anak-anak yang harus naik sepeda ke Singapadu untuk sekolah, ucap mereka. Ia pun bersedia meninggalkan gajinya yang sudah mencapai Rp. 400 ribu kala itu dan pihak LPM memberikannya kesempatan mengurus izin mendirikan sekolah. Setelah data berupa lokasi sekolah akan didirikan, jumlah sekolah yang sudah ada, berapa SD yang mendukung sekolah ini dan lain-lain, sekolah pun resmi berdiri pada tahun 1979. Langkah selanjutnya mengisi tenaga pengajar dan dirinya dipercaya sebagai Kepala Sekolah.

Rutinitas I Dewa Made Oka Mertha kian bertambah semenjak karirnya di pendidikan, membukakan kepercayaan yang datang dari masyarakat untuknya bergabung dengan Organisasi Barong milik Desa Batubulan dan mengelola pertunjukan tari kecak sejak 1981-1986 di CV. Bali Budaya. Ia bahkan menyempatkan diri bekerja sebagai sopir bemo yang ia beli sendiri. Di tengah masifnya rutinitas, beruntung ia didampingi Ni Made Widiati yang tak hanya cekatan dalam mengerjakan pekerjaan domestik tapi juga mengasuh tiga anaknya, mengayomi adik-adik daripada I Dewa Made Oka Mertha dan memenuhi kebutuhan orangtua.

Anugerah yang Seolah Tak Henti Mengalir, dari Koperasi Serba Usaha (KSU) Mertha Nadi Hingga Anugerah Menurun ke Anak-Anak
Cikal bakal pendirian KSU Mertha Nadi, saat I Dewa Made Oka Mertha menjadi Kepala Desa tahun 1999, saat itu desa tengah dihadapi permasalahan koperasi yang pernah berjaya kemudian mengalami kebangkrutan. Pengurus koperasi kemudian membicarakan terkait permasalahan tersebut kepadanya. Akhirnya ditemukan kesepakatan, koperasi tersebut untuk di set ulang dari nol, dengan cara segala aset koperasi kembali ke pemerintah dan kas dikembalikan ke anggota.

Baca Juga : Fokus Kembangkan Desa Banjarangkan Tercinta dengan Menemukan Solusi Terbaik Sesuai dengan Urgensinya

Niat I Dewa Made Oka Mertha kemudian muncul untuk mendirikan koperasi kembali. Karena bagaimana pun, koperasi sejatinya memiliki manfaat strategis masyarakat desa untuk memperbaiki ekonomi mereka, asal dikelola dengan tepat. Ia kemudian mengumpulkan 34 orang anggota keluarganya untuk memenuhi dasar dari syarat pendirian koperasi. Belum sampai tahap mengurus izin, Kepala Dinas Koperasi Kabupaten Gianyar saat itu, ternyata sangat mendukung penuh apa yang dilakukannya dengan turut turun tangan mengurus izin, tanpa dirinya banyak terlibat langsung

Sejak 11 Juli 2001, KSU Mertha Nadi membuktikan keeksisannya sampai saat ini. Sang istri pun angkat bicaranya, dalam mendampingi suami yang di usia 71 tahun ini yang masih aktif bekerja. “Saya sejak bersedia menikah dengan bapak, sudah berkomitmen mengurus rumah tangga, sembari menjadi guru. Saya mengizinkan suami untuk fokus pada karirnya di desa dan mengelola koperasi,” ucap Ni Made Widiati. Dalam memperkuat fondasi rumah tangganya, sebagai wanita Bali saya juga berupaya membuat banten persembahan kepada leluhur dan Sang Pencipta oleh tangannya sendiri tanpa membeli, agar lebih mesari dan jangan lupa dilandasi dengan keikhlasan,” sambungnya. Tak sampai di sana bentuk syukur I Dewa Made Oka Mertha mendapatkan pendamping hidup seperti Ni Made Widiati, istrinya sangat terampil mengurus pendidikan tiga anaknya. Terbukti anak pertama kuliah IT di Bandung, kedua di Surabaya sebagai Apoteker dan ketiga lulusan kedokteran dari Universitas Trisakti yang kini praktek di “Klinik Wahyu Medika” yang didirikan keluarga. Sembari tersenyum, I Dewa Made Oka Mertha mengakui, ia hanya ‘terima jadi’ saja, alias hadir dalam kelulusan ketiga anaknya saja.

Di masa tua, I Dewa Made Oka Mertha dan Ni Made Widiati kini terbilang mapan tak hanya dari segi ekonomi, tapi juga kaya akan perhatian kepada keluarga, begitu juga sebaliknya. Mereka berharap dengan bekal pendidikan yang mereka berikan, generasi penerusnya siap memenuhi kebutuhan keluarga mereka juga kelak dan tak menjadi beban anak-anak mereka nantinya, setidaknya dalam ekonomi seiring bertambahnya usia. Namun seindah-indahnya tutur kata dalam nasehat, menjadi role model adalah ide terbaik sebagai orangtua yang bijaksana. Dan dari uraian perjalanan pasangan ini, tentu saja telah membuktikan kesuksesan pernikahan I Dewa Made Oka Mertha bersama sang istri, Ni Made Widiati, sudah menjadi wujud “pernikahan adalah ibadah” tak hanya bagi mereka pribadi tapi juga orang-orang terkasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *