Berpijak Pada Pengalaman Hidup, Semangat dan Kerja Keras Jadi Modal Utama Merasakan Angin Segar Kesuksesan

Berpijak Pada Pengalaman Hidup, Semangat dan Kerja Keras Jadi Modal Utama Merasakan Angin Segar Kesuksesan

I Nyoman Wiradana – CV. Griya Style Bali

Manusia sebagai agent of change menempatkan diri dalam posisi privilege atas kehidupannya. Pernyataan tersebut merupakan sebuah keistimewaan untuk kita karena dapat membentuk dan merubah sistem serta pola hidup dengan menyesuaikan dengan pemikiran yang dimiliki terhadap lingkungannya. Hal ini pula yang kiranya diperani oleh I Nyoman Wiradana tuk menentukan perahu kehidupan yang dinahkodainya hingga mampu mengayuh dan berlabuh membangun sebuah perusahaan di bawah bendera CV. Griya Style Bali. Pencapaian yang tidak di duga bisa ia lakukan untuk bisa merubah hidup lebih baik bagi keluarga dan orang-orang tercinta. Seperti apa kisahnya?

Nampaknya, I Nyoman Wiradana terlahir dan dididik di tengah lingkungan desa yang sangat lekat dengan kebudayaan dan nilai-nilai kebudayaan serta kesenian yang khas. Tepatnya di kabupaten Gianyar yang pastinya dikenal luas sebagai pusat budaya ukiran di Bali. Sehingga tak bisa dipungkiri, jiwa keterampilan begitu mengakar dan tumbuh untuk melahirkan suatu karya yang bernilai estetika.

Membaca potensi itulah yang mendorong pria yang lebih akrab disapa Wiradana ini mampu menciptakan beragam karya desain dengan memanfaatkan beragam potensi yang lebih menonjolkan nilai kearifan lokal dan telah diaplikasikan ke berbagai proyek pembangunan di Bali. Melalui CV. Griya Style Bali yang beralamat di Banjar Negari, Jl. Raya Singapadu, Kutri, Sukawati, Gianyar, Bali ini, Wiradana mampu mendesain karya seni dengan menggunakan bahan dasar batu alam hingga menerima jasa pemasangan interior maupun eksterior bergaya bali atau modern.

Dari usaha serta kerja kerasnya itu, Ayah dua anak ini memberi sentuhan yang berbeda lewat jasa karya seni untuk mendukung perkembangan pariwisata atau hospitality. Sejak tahun 1989 ia pun mencoba berkarya secara independen dengan membuka usaha. Sebagai orang Bali, yang tentu tak bisa dipungkiri lagi bahwa kekayaan alam dan budaya menjadi bagian penting untuk di kembangkan.

Sehingga, tidak berpatokan pada mencari penghidupan di sektor pariwisata saja, karena mengingat rasio daripada persaingan di dunia pariwisata ini sangat ketat, dan masih banyak sektor lain yang masih harus dijajaki dan dikembangkan lagi, termasuk karya seni. Dan Wiradana membuktikan bahwa karya seni turut berpotensi memajukan kehidupan masyarakat Bali.

Bersama perusahaan yang ia dirikan, Wiradana bisa memberi ruang kepada para seniman untuk berkerja dan ikut berkarya memenuhi permintaan pasar, seperti diantaranya; pemasangan batu alam, pembuatan tembok dan pelinggih, pembuatan tembok piyasan, pembuatan dan Pemasangan Pandil Ukiran, Pemasangan Kanopi dan Candi Bentar, dan lain-lain, yang tentu memiliki nilai estetika unik dan bernuansa lokal.

Meski demikian, untuk menjawab cara pandang kebanyakan orang yang hanya melihat dari kesuksesannya saja tanpa melihat kerja keras dan perjuangan, Wiradana mengaku jika dirinya memiliki pengalaman serta cerita rumit yang bisa dijadikan sebagai tempaan baik untuk di kisahkan. Wiradana terlahir dari keluarga yang jauh dari kata sejahtera. Putra tunggal dari pasangan I Made Sibeg dan Ni Ketut Rupit ini tampak dididik mandiri sejak kecil.

Terlebih ketika saat ibunya meninggal saat Wiradana masih duduk di bangku sekolah dasar, kelas 3 SD. Tentu kondisi yang sangat sulit secara psikologis. Terlebih, Wiradana hanya mampu menyelesaikan pendidikan SMP karena kekurangan biaya sekolah. Sehingga seusianya kala itu harus bisa berjuang tanpa sentuhan kasih sayang dan pelukan hangat sosok Ibu.

Dengan kesibukan Ayahnya yang menghabiskan waktu dengan bekerja serta kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan, akhirnya Wiradana memilih untuk tinggal bersama orang lain yang berbelas kasih kepada keluarganya. Keadaan untuk tinggal bersama orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga, diakuinya cukup berat. Melawan rasa malas, belum paham untuk bekerja, dan diajarkan mandiri merupakan fase tersulit untuk dijalankan.


“Sejak kelas tiga SD sudah di tinggal sama Ibu. Sejak saat itu pun saya harus tinggal bersama orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga. Waktu itu, saya tinggal bersama orang yang saya rasa tepat dan sangat berjasa kepada saya. Kebetulan, beliau itu sebagai Pemangku. Ya rasanya memang ngak enak sekali ya.

Tetapi saya dididik dan dibesarkan di sana, dengan usia saya yang sebenarnya masih dalam bimbingan orang tua kandung. Hingga akhirnya, Astungkara saya bisa melewati itu semua hingga bisa menjalin hubungan baik. Bahkan saya sudah menganggap beliau adalah orang tua saya sendiri,” kenang Wiradana.

Pria kelahiran 9 September 1967 ini pun tidak menampik jika situasi tersebut tanpa disadari mampu membentuk karakternya. Meski hanya mampu menamatkan pendidikan ke jenjang SMP, Wiradana banyak belajar dari pengalaman hidupnya sendiri. Tak hanya itu, semangat menjadi landasan dasar untuk terus berbenah dari hari ke hari.

Aktivitasnya selama tinggal disana adalah membantu pemilik rumah untuk menjalankan bisnis kopi yang sampai saat ini masih sangat dikenal oleh wisatawan dengan jenis kopi Manuaba. Mulai dari proses pemetikan hingga proses penggilingan, kerap ia lakoni. Usianya masih sangat muda saat itu, sehingga waktu untuk bermain layaknya anak muda lainnya, tidak ia rasakan. Karena harus ikut bekerja. Meski demikian, Wiradana tidak menyesali kondisi tersebut. Semakin hari ia merasa nyaman dengan aktivitasnya tersebut. Kurang lebih dua tahun berjalan, Wiradana sempat mencoba mengadu nasib di kota Denpasar.

Namun, hal itu tidak berhasil dan harus kembali ke tempat tinggalnya dulu. “Niatnya dulu mau melanjutkan pendidikan ke SMA. Niat ingin melanjutkan ke BLK (Balai Latihan Kerja), hanya saja tidak pas biayanya. Akhirnya saya mundur lagi dan kembali bekerja di tempat saya dulu. Jadi waktu sudah ada banyak usaha yang bisa saya kerjakan bersama Bapak angkat saya,” jelasnya.

Selain memiliki semangat yang besar, Suami dari pasangan Ni Nyoman Soli ini tidak mengelak bahwa situasi masa kecilnya menjadi pedoman untuk memupuk jika kerja keras. Wiradana menambahkan dengan nada sendu, bahwa jiwa kerja keras yang dimilikinya adalah hasil rekam kenangan yang sangat membekas dari sosok ibu. Semasa hidup, beliau merupakan sosok yang tanggung dan pekerja keras. Beliau dengan kerelaan dan cinta membantu ekonomi keluarga dengan ikut bekerja. Pun demikian, rasa lelah tak pernah ia perlihatkan ditengah-tengah keluarga. “Pastinya, kerinduan saya yang paling mendalam adalah tentang perjuangan sosok Ibu dulu. Bahkan untuk makan saja dulu sangat sulit untuk kami, tapi sosok ibu selalu hadir dengan ketegarannya terus merawat kami. Ya dengan kerja keras untuk bekerja,” tegas Wiradana yang diam-diam tak sadar meneteskan air mata.

Pastinya, jalan hidup setiap orang tak bisa di tebak. Begitu pula setiap pilihan yang akan di ambil tuk menentukan nasib seseorang. Wiradana tidak menampik bahwa setiap perjalanan yang ia ambil selalu ada campur tangan Tuhan dan dukungan doa dari kedua orang tua berserta keluarga kecilnya. Bahkan ketika melewati masa-masa sulit pun, dirinya hanya bersandar pada doa, sehingga ada banyak tangan-tangan Tuhan yang melalui orang lain untuk turut membantunya.

Keputusan serta niat untuk berani keluar dari rumah tinggalnya pun telah ia niatkan. Wiradana beranggapan, bahwa dirinya tidak akan berada dalam situasi harus bergantung nasib pada ayah angkatnya tersebut. Memilih untuk mandiri dan siap menanggung resiko adalah jalan yang harus di tempu. Terlebih, setelah menikah Wiradana tentu harus memikirkan nasib keluarganya sendiri.

“Awalnya saya coba keliling di daerah Kuta dan bertemu banyak teman yang punya relasi untuk bekerja. Awalnya saya langsung menawarkan profesi sebagai sopir yang pada waktu itu saya belum tahu sama sekali mengendarai mobil. Waktu itu di salah satu perusahaan pariwisata. Di tahun 1988 saya mengalami kecelakaan lalu lintas dan saya tidak bisa bekerja membawa mobil. Syukurnya, saya di beri keringanan untuk bisa tetap bekerja di perusahaan tersebut menjadi karyawan bagian hotel di Legian. Waktu itu di bagian engineering hotel,” ceritanya. Ia mengaku, saat bekerja di posisi tersebut, cita-cita yang belum sempat ia gapai bisa ia rasakan.

“Kebetulan dari dulu itu cita-cita bisa sekolah di teknik, nah akhirnya, di dunia kerja saya bisa belajar banyak tentang ilmu teknik saat di posisi tersebut. Sehingga saya banyak belajar dari chief engineering di hotel tentang teknik. Karena belajar otodidak dan langsung di lapangan, akhirnya saya mudah paham dengan urusan seperti itu. Sehingga lama kelamaan saya di angkat jadi karyawan tetap,” kata Wiradana dengan sedikit tersenyum.

Meski mendapat posisi yang baik, Wiradana masih merasa belum puas untuk merubah kondisi ekonomi keluarganya. Dengan dukungan sang Istri, Wiradana pun mencoba membuka usaha lain yang tentu bisa menambah penghasilan. Kesibukannya dengan mengurus dua peran ini tidak menyurutkan niat Wiradana untuk terus berjuang. Tanpa disadari, perjalanan bisnisnya di bidang pengadaan bahan bagunan berupa batu alam ini menuai hasil yang baik. Hingga di tahun 1989, ia pun melilih untuk keluar dari zona nyaman sebagai pekerja di pariwisata dan serius memilih mengembangkan perusahaan UD. Griya Style Bali, kemudian di tahun 2016 berubah menjadi CV. Griya Style Bali hingga saat ini.

Pasang surut usaha pastinya akan terjadi. Namun, tempaan serta pengalaman yang membentuk karakter Wiradana lebih kuat untuk menopang dan menghadang segala kerumitan. Hingga akhirnya, berkat kerja keras, keseriusan, niat yang besar untuk berubah serta beragam pengalaman semasa hidupnya, Wiradana mampu berdiri di atas kaki sendiri merasakan angin segar kesuksesan.

“Jika ditanya apa tekad saya saat itu untuk keluar dari zona nyaman merambah dunia bisnis? Ya waktu itu tekad saya hanya satu ya, mau membantu keuangan rumah tangga, memperbaiki ekonomi. Karena di tahun 1993 itu setelah saya menikah, terasa sekali kebutuhan hidup. Waktu itu tidak seberapa gaji dari kerja pariwisata.

Dari sana lah saya mencari terobosan yang baru. Awalnya untuk mengisi kebutuhan saja ya, tidak pernah terpikirkan hingga saat ini. Selain itu juga, dorongan lain dari keluarga. Karena saya sadari, bahwa saya seorang anak yang menjadi penopang keluarga. Ngak punya ibu dari kecil dan harus berjuang bekerja untuk mengisi kebutuhan keluarga,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *