Eksistensi Nabe Istri (Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba) Griya Agung Bangkasa Dalam Upacara Diksa

Eksistensi Nabe Istri (Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba) Griya Agung Bangkasa Dalam Upacara Diksa

Oleh :
I Gede Sugata Yadnya Manuaba, S.S., M.Pd

Tulisan ini titiang persembahkan untuk Ida Bhatara Hyang Sinuhun dan Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba yang telah mengisi dunia titiang dengan begitu banyak kebahagiaan sehingga seumur hidup tidak cukup untuk menikmati semuanya. Terima kasih atas semua cinta yang telah beliau berikan kepada titiang.
Segala perjuangan titiang hingga titik ini titiang persembahkan pada dua orang paling berharga dalam hidup titiang ini. Hidup menjadi begitu mudah dan lancar ketika kita memiliki orang tua yang lebih memahami kita daripada diri kita sendiri. Terima kasih telah menjadi orang tua yang sempurna, suksma Ida Hyang Sinuhun miwah Ida Sinuhun Putri, Rahayu Rahayu Rahayu
.

ABSTRAK
Tulisan yang berjudul Eksistensi Nabe Istri GRIYA AGUNG BANGKASA dalam Upacara Diksa yang fokus pada perjuangan perempuan dalam meraih kedudukan sebagai guru nabe pada upacara diksa. Pada upacara tersebut dari ketiga guru yaitu guru waktra dan guru saksi, maka guru nabe memiliki kedudukan sentral karena beliau yang memiiliki kewenangan untuk napak calon diksita menjadi Sulinggih. GRIYA  AGUNG BANGKASA dipilih sebagai lokus tulisan karena sulinggih istri di GRIYA AGUNG BANGKASA ini sudah menjadi Sinuhun artinya beliau sudah napak calon diksita menjadi Sulinggih yang mana nanaknya tersebar di wilayah Bali, se-Nusantara, bahkan sampai ke negeri Matahari Terbit di Jepang sekitar 14 orang Sulinggih di Jepang. Tulisan ini menjadi penting karena perjuangan seorang sulinggih istri sampai bisa menjadi nabe tidak begitu saja dapat diraih karena kedudukan tersebut baru dapat diraih setelah sulinggih lanang lebar (meninggal) dan meneruskan apabila ada keberterimaan dari calon diksita untuk menerima kehadiran sulinggih istri untuk menginisiasi/ napak dalam upacara diksa.

PENDAHULUAN
Ketika umat Hindu sudah siap melaksanakan inisiasi yaitu melakukan diksa, maka akan dilakukan upacara. Upacara diksa merupakan salah satu dari Panca Yajna yaitu rsi yajna. Sebagai umat yang beragama Hindu memiliki suatu tujuan hidup yaitu moksartam jagadhita yakni mencapai kelepasan abadi yakni menyatu kembali kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.
Pelembagaan diksa yang benar serta dilaksanakan oleh seorang Guru yang bonafide/ Krta Diksita akan membawa dampak yang luar biasa, terwujudnya sosok siwa sakala atau manusia dewani/ilahi/hierofani sebagai pemilik modal simbolik, sebagai penghubung utama antara masyarakat dengan Tuhan. Sebagai pemegang modal simbolik, para diksita/Pandita ini diidentikkan sebagai juru selamat membebaskan manusia dari penderitaan. Dalam tindakan ritual dilakukan peleburan papa/noda umat serta menurunkan gangga serta amertha untuk keselamatan umat (Miartha: 2015 :10).
Guru Diksa /Nabe merupakan pangkal mula dari diksa. Diksa merupakan pangkal mula dari mantra, dan mantra merupakan pangkal mula dari dewata sedangkan devata merupakan pangkal mula dari siddhi. Dengan demikian, kedudukan Guru Diksa/Nabe lebih-lebih kedudukan Sinuhun dalam lembaga diksa begitu sentralnya, karena guru itu tidak hanya dipandang sekadar sebagai manusia biasa. Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara Guru, Mantra, dan Dewa. Guru itu adalah ayah, ibu, dan Brahman. Lebih jauh kitab Maha Nirvana Tantra menguraikan bahwa Guru tersebut dapat menyelamatkan sisya (siswa) dari kemarahan Dewa Siwa. Namun, tidak ada seorangpun yang dapat menyelamatkan sisya dari kemarahan Guru. Agar seorang pendeta mampu melakukan tugasnya sesuai fungsi yang telah ditetapkan diatas dengan kualitas yang ideal, maka sangat perlu diperhatikan siapa yang menjadi guru yang akan mengajari calon diksa karena kualitas guru akan membentuk kualitas seorang diksita. Terdapat anggapan masyarakat dan calon diksita yang tidak mau me-Nabe pada seorang Nabe istri karena kalau sudah medwijati yaitu lahir kedua kalinya, maka Guru Nabe-nya adalah sebagai ayah dan pustaka Weda sebagai ibunya. Apabila dilihat penampilan Guru Nabe istri, maka dari busana terutama bentuk tatanan rambut beliau adalah anondong, sedangkan dalam paham Siwasidhanta sebagai simbol Siwa, maka tatanan rambut sulinggih/Nabe yang meraga lanang adalah meprucut. Isu itulah yang akan coba digali dalam Tulisan ini karena sorang Nabe istri sejatinya sudah meraga Siwa. Nabe istri Griya Agung Bangkasa (Ida Sinuhun Siwa Putri Parama Daksa Manuaba) Jalan Tangsub No 4, Banjar Pengembungan, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung – Bali telah menjadi Guru Nabe sejak 2015 dan kini sudah mempunyai nanak sejumlah 32 orang.

Dari uraian di atas, maka dalam tulisan ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: (a) Bagaimanakah kedudukan Nabe istri GRIYA AGUNG BANGKASA dalam upacara diksa? (b) Apakah peran Nabe istri GRIYA AGUNG BANGKASA dalam upacara diksa ? (c) Apakah makna teologi feminis Nabe istri GRIYA AGUNG BANGKASA dalam upacara diksa ?

TEORI
1. Teori Religi
Persoalan religi dipecahkan ke dalam lima komponen yang mempunyai peranannya sendiri-sendiri tetapi sebagai bagian dari suatu sistem berkaitan erat dengan yang lainya yaitu : 1). Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia, 2). Sistem keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), sistem keyakinan juga menyangkut tentang sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia, 3). Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktifitas dan tindakan manusia dalam melakukan kebangkitannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang atau makhluk halus lain dan dalam usaha untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya, 4). Sistem peralatan ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan seperti tempat pemujaan, patung dewa, orang suci, huruf suci dan lain-lainnya, 5). Umat beragama atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu (Koetjaraningrat, 1987:80-82).

2. Teori Hegemoni
Ideologi memegang peranan penting dalam teori hegemoni karena teori hegemoni ingin merevisi kelemahan ideologi Marxisme yang berkaitan dengan kebudayaan sebagai sebuah ideologi. Menurut Gramsci kehidupan manusia tidak ditentukan oleh keadaan individual, tetapi oleh kesadaran sosial. Individu tidak mendahului kondisi sosial, setiap subjeknya hanya berfungsi sebagai agen dari sistem sosial yang sedang berlangsung. Konsep inilah yang pada akhirnya mengarah pada (1) ide kelas yang berkuasa, jelas yang merupakan kekuatan material dan dengan demikian merupakan kekuatan intelektual, ide dominan diciptakan demi kepentingan kelas yang berkuasa dan (2) dikotomi yang sangat terkenal yang disebut model superstruktur ideologis dan infrastruktur material.

3. Teori Feminisme
Tokoh yang paling berpengaruh dalam femenisme kontemporer adalah Gayatri Chakravorty Spivak (1993) membahas banyak hal yang oleh feminis dunia pertama dan feminis utara diterima begitu saja. Spivak menekankan bahwa femnisme tidak mungkin berfungsi sebagai glamorisasi wacana mainstream yang memiliki kepentingan-kepentingan istimewa yang asal-usul akademisnya yang menjadikan femenisme tunduk pada koreksi dari orang- orang autoritatif. Spivak menantang femenis- feminis dunia ketiga untuk menghadapi kolonialisme bawaan femenisme terhadap femenisme dunia ketiga, maka bagi Spivak, teori femeinis mengharuskan orang belajar meninggalkan hak istimewa seseorang. Agar orang dapat dipandang serius oleh konstituensi perempuan di dunia di luar lembaga-lembaga akademi.

METODE TULISAN

Dalam Tulisan ini, maka diri penulis sendirilah yang menjadi instrumen utama, mengikuti asumsi-asumsi kultural disamping teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi.

PEMBAHASAN

1. Kedudukan Nabe Istri GRIYA AGUNG BANGKASA Dalam Upacara Diksa
1.1 Sebagai Tapini
Dalam melaksanakan upacara yajna (diksa), maka keterlibatan krama istri dan lanang sangat dibutuhkan. Sebuah upacara yajna tidak akan mungkin hanya dikerjakan oleh krama istri saja atau oleh krama lanang saja. Inilah implementasi konsep Ardanareswari.
Kedudukan wanita Hindu dalam upacara keagamaan adalah menyiapkan dan merangkai upakara serta menyusunnya kembali dalam proses ritual (upacara keagamaan Hindu merupakan tugas pokok yang sesuai dengan tradisi dan sastra). Dalam mengerjakan upakara, maka krama istri akan ngayah, baik ngayah secara vertikal (Hyang Widhi) dan ngayah secara horisontal (krama) yang didasari dengan ketulusikhlasan. Namun, apabila ada rapat atau paruman, wanita jarang dilibatkan, bahkan sang suami kalau akan paruman tidak penah bertanya kepada istrinya barangkali ada sumbang saran yang perlu disampaikan pada paruman tersebut. Hanya begitu akan ada upacara, krama istri sudah langsung diserahi tugas untuk ikut dalam upacara tersebut. Bagi pelaksana yajna termasuk wanita, maka pada upacara seperti ngenteg linggih akan ngadegang Tapini tetapi, dalam upacara diksa hal itu tidak dilakukan. Walaupun demikian Tapini adalah dewaning banten. Tapini bukan hanya secara sekala adalah Sulinggih Istri yang ahli dalam upacara termasuk banten, tetapi dalam hal ini adalah ngadegang Tapini dengan keyakinan bahwa Tapini adalah dewanya upacara dengan doa dan permohonan agar dituntun dan diberikan pencerahan, dijauhkan dari hal-hal yang tidak baik dan diberikan kekuatan dalam melaksanakan tugas. Hal ini tampak jelas dilakukan oleh wanita Hindu sebagai bakti bahwa dalam mengatur jalannya upacara agar sukses sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dengan petunjuk Tapini yang dalam upacara diksa dari keluarga calon diksita selalu dengan nangkilin Sulinggih Calon Nabe ada yang langsung dilakukan oleh yang memiliki yajna namun, adakalanya wakil-wakil dari Griya calon diksita yang diserahkan untuk membantu upacara tersebut.

1.2 Sebagai Manggala Upacara
Dalam hidup dan aktivitas keagamaan umat Hindu, terdapat sebuah kedudukan Sadhaka sebagai manggalaning yajna. Sadhaka adalah Sang Manggala/pemimpin yang wilayah kerjanya berorientasi kepada jnana dan raja yoga. Dalam kedudukan sebagai Sang Sadhaka, maka mesti didasari oleh unsur keimanan berdasarkan kitab suci Veda.
Dalam pelaksanaan diksa, maka menjadi sebuah keharusan untuk memerhatikan varna dharma artinya penyelenggaraan upacara tersebut harus dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dan yang sesuai dengan bidangnya. Dibutuhkan komunikasi dan kerjasama yang kondusif di antara umat yang bersangkutan dan umat yang lain, karena umat yang menggelar yajna wajib menyadari diri, keahlian, guna (ketrampilan), dan apa yang dimiliki dan dapat dilakukan demi sukesesnya upacara tersebut.
Dalam upacara diksa, maka Guru Nabe adalah sebagai Manggala dengan melaksanakan satya, rta, penyucian, tapa, kirthanam, pengorbanan, homa yajna.

1.3 Sebagai Adi Guru Loka
Eksistensi diksa dalam ajaran agama Hindu adalah salah satu pengamalan Dharma yang memiliki sifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh seluruh Umat Hindu. Dengan demikian diksa merupakan dasar keyakinan agama Hindu sekaligus hukum moral yang wajib diyakini, dijunjung tinggi, ditaati serta dilaksanakan dalam rangka menegakkan Dharma.
Pelaksanaan diksa memiliki tujuan untuk menyucikan diri secara lahir maupun bhatin sebagai sarana atau jalan untuk mentransfer pengetahunan ketuhanan (Brahmavidya) melalui media Guru Nabe atau Acarya, sekaligus sebagai pembimbing moral dan spiritual. Dengan melaksanakan diksa umat Hindu disebut Sadhaka atau Pandita yang meliputi berbagai nama abhiseka seperti Sulinggih; Pandita Mpu Bhagawan, Sri Mpu, Dukuh, Pedanda, Danghyang, Acarya, Rsi, Bhiksuka, Vipra, Sadhu, Brahmana, Brahmacari, Sannyasi, Yogi, Muni dan lain-lain yang memiliki kewenangan melakukan bimbingan Dharmopadesa maupun Lokapalasraya kepada umat.
Adi Guru Loka juga sebagai guru yang terkemuka yang dalam menuju pencerahan, Pandita masa depan sebagaimana disebutkan seorang Pandita itu tidaklah mereka yang hanya diupacarai sebagai Pandita dan berbusana Pandita melalui proses diksa.

2. Peran Nabe Istri Griya Agung Bangkasa dalam Upacara Diksa
2.1 Peran Nabe Istri Griya Agung Bangkasa pada Upacara Pra Diksa
Pelaksanaan upacara madiksa akan dapat berlangsung bilamana ada calon diksa atau sisya, Nabe, Upakara, dan dudonan upacara padiksan. Calon diksa atau sisya adalah orang yang akan di-diksa sedangkan Nabe adalah orag yang akan men-diksa atau yang memberi pentasbihan kepada calon diksa atau sisya. Upakara adalah sarana prasarana berupa banten dan perlengkapan upacara mediksa, Dudonan upacara mediksa adalah prosesi atau proses berlansungnya upacara mediksa. Nabe adalah seorang guru spiritual yang telah diuji oleh masyarakat dalam sila, tapa, dan yajna. Demikian juga memenuhi kriteria sebagai seorang guru yakni sehat lahir batin, mampu melepaskan diri dari ikatan duniawi, tenang dan bijaksana, selalu berpedoman kepada sastra, paham dan mengerti Catur Veda, teguh melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samadi.
Demi kemurnian ilmu pengetahuan (Brahmavidya), maka seorang Nabe tidak akan sembarangan men-diksa seseorang bila dianggap kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh parisada maupun oleh Guru Nabe, sehingga ilmu pengetahuan tentang ketuhanan (Brahmavidya) hanya dapat di berikan kepada mereka yang telah di-diksa, dikelahiran yang kedua lewat kelahiran Weda atau mantram suci.

2.2 Peran Guru Nabe pada Upacara Diksa
Pada upacara diksa pariksa akan hadir Guru Nabe, Guru Saksi, dan Guru Waktra. Hadir pula PHDI setempat dan kantor agama kabupaten/kota. Akan dilakukan tes terhadap calon diksita laki dan perempuan. Tentunya terlebih dahulu ketua Paruman Sulinggih (Dharma Upapati) akan menanyakan kepada Nabe dan Guru yang lain tentang kesediaannya menjadi mendampingi upacara diksa pariksa ini.
Upacara sedaraga atau yoga nindra/ngekes:   sebelum matiraga, calon Diksita dilukat Guru Nabe di Merajan calon Diksita, dilanjutkan dengan muspa. Setelah itu baru melaksanakan sedaraga yaitu melaksanakan Yoganindra. Busana serba putih, sikap tangan ngaregep dan ngranasika, yaitu monabrata dan upawasa. Upacara ini berlangsung sehari penuh, yaitu sehari sebelum upacara diksa.
Sulinggih Nabe memuja atau ngarga. Calon Diksita ada di hadapan Sanggar untuk melakukan upacara mebyakawon, kemudian dilanjutkan dengan muspa, dituntun oleh Guru Nabe, lalu langsung luhur amarisudana (ganti nama). Calon Diksita menghadap kepada Guru Nabe metepung tawar segahu. Ditapak dengan tapakan lingga, Guru Nabe memberikan kekuatan gaib kepada Sisya. Guru Nabe memberikan cecatu. Menyembah terakhir Sisya menyembah mepamit pada kaki Guru Nabe, dilanjutkan dengan menerima biseka dari Nabe.

2.3 Peran Guru Nabe pada Upacara Pasca Diksa
Pada upacara pasca diksa, maka hubungan nanak dengan Nabe masih tetap terjalin artinya bahwa terdapat hubungan spitual di antara keduanya. Guru Nabe tetap memberikan pendidikan rohani kepada nanak-nya. Pada hari ketiga setelah upacara diksa, maka Nanak (Sulinggih yang baru di-diksa) akan nangkil ke griya Nabe-nya Hal ini dilakukan sebagai bakti nanak terhadap Nabe dan sebagai ucapan terima kasih kepada Guru yang telah melahirkan sisya (nanak). Dalam peran Nabe istri sebagai guru spiritual terdapat hubungan patron client dengan calon diksita. Patron (pihak tuan) dengan client (hamba). Dalam hubungan ini yang dimaksud dengan patron adalah Nabe sedangkan client adalah calon diksita yang memerlukan bimbingan rohani dari Nabe.
Hubungan patron client ini terjadi antara Nabe dengan nanak terutama terlihat dalam aguron-guron terdapat hubungan yang saling menguntungkan. Maksudnya adalah Nabe memberikan bimbingan spiritual terkait dengan permintaan calon diksita. Dari pihak calon diksa akan memberikan punia sebagai balas jasa atas bimbingan rohani yang diberikan Nabe.

3. Makna Teologi Feminis Nabe Istri GRIYA AGUNG BANGKASA dalam Upacara Diksa
3.1 Makna Perjuangan Gender
Agama Hindu memandang gender bukan sebagai perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Di mana agama Hindu mengajarkan bahwa seluruh umat manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan sesuai dengan dharmabhakti-nya, bahkan pada hakikatnya semua ciptaan yang ada sesungguhnya berasal dan akan kembali kepada Tuhan sebagai sangkanparaning dumadi. Dalam ajaran Hindu manusia terlahir ke dunia secara berpasangan, sebagai konsep rwa bhineda yakni dua hal yang tampak berbeda namun adanya yang satu melengkapi keberadaan yang lainnya. Konsep dewa-dewi atau lingga yoni menggambarkan bahwa dualism yang ada sesungguhnya adalah sebuah kesatuan. Agama Hindu sebagai agama universal dan plural, yang sangat menghargai kesetaraan gender dengan disimbolkan sebagai bentuk ardhanaresvari, dan sebaliknya menolak diskriminasi status sosial perempuan dan laki- laki.
Hindu juga memuja aspek keibuan atau feminisme dari Tuhan. Pemujaan Tuhan dalam bentuk sakti (unsur keibuan) telah mengakar dengan kuat dalam Hindu, seperti adanya pemujaan Saraswati, Laksmi, Durga, Gayatri merupakan lambang bahwa Tuhan dipuja sebagai aspek ibu mulia yang selalu mengasihi dan menyayangi para bhakta yang dengan tulus memujanya.
Patriarki memang menempatkan perempuan tersubordinasi, namun bila dihubungkan dengan Nabe istri, maka sesuai ikatan bathin, bhisama leluhur, dan trah, maka sisya atau nanak tetap me-Nabe Nabe itu adalah Istri. Sisya atau nanak hormat kepada Nabe Istri sebagai Siwa dan Guru.

3.2 Makna Kesetaraan dan Keadilan (Keharmonisan)
Laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Tuhan melalui yajna, maka sudah sewajarnyalah manusia saling ber-yajna dalam menggerakkan cakra yajna. Kalau hal tersebut dapat terlaksana, itu menandakan bahwa Hindu sangat berpihak pada gender bahkan kesetaraan karena perempuan tidak dilahirkan dari tulang rusuk kanan adam. Dalam Padma Purana disebutkan bahwa Dewa Brahma membagi setengah dirinya dalam menciptakan Dewi Saraswati. Bukan hanya setengah badan tetapi juga adalah setengah jiwanya. Hal inilah yang dimaksud dengan konsep Ardanareswari dalam Hindu.
Wanita dalam teologi Hindu bukanlah merupakan serbitan kecil dari personifikasi lelaki, tetapi merupakan suatu bagian yang sama besar, sama kuat, sama menentukan dalam perwujudan kehidupan yang utuh. Istilah teologisnya ialah Ardhanareswari. Tanpa unsur kewanitaan, suatu penjelmaan tidak akan terjadi secara utuh dan dalam agama Hindu unsur ini mendapatkan porsi yang sama sebagaiman belahan kanan dan kiri pada manusia, sebagaimana belahan bumi atas yaitu langit dengan belahan bumi bawah yaitu bumi yang kedua-duanya mempunyai tugas, kekuatan yang seimbang guna tercapainya keharmonisan dalam alam dan kehidupan manusia di alam ini.
Dalam Siwatattwa dikenal konsep Ardhanareswari yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa sedangkan pradana disimbolkan dengan Dewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminim. Tiada suatu apa pun akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu. Penyatuan kedua unsur itu diyakini tetap memberikan bayu bagi terciptanya berbagai makhluk dan tumbuhan yang ada.
Makna simbolis dari konsep Ardhanareswari, kedudukan dan peranan perempuan setara dan saling melengkapi dengan laki-laki bahkan sangat dimuliakan. Tidak ada alasan serta dan argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Itulah sebabnya di dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan perempuan di antara laki-laki.

SIMPULAN
Kedudukan Nabe Istri dalam upacara diksa adalah sebagai Tapini, Manggala Upacara, Adi Guru Loka. Dengan kedudukan tersebut seorang Nabe Istri menjalankan tugas-tugas sebagai bentuk tanggung jawab untuk menyukseskan upacara diksa tersebut. Peran Nabe Istri dalam upacara diksa antara lain adalah peran pra-diksa, peran pada upacara diksa, dan peran pasca upacara diksa. Peran-peran tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya karena harus disinergikan. Makna teologi feminis Nabe Istri dalam upacara diksa adalah makna perjuangan jender dan makna kesetraan dan keadilan gender. Memperoleh kedudukan sebagai Nabe Istri tidaklah mudah karena harus ditunjukkan dengan kerja yang dapat dinilai hasilnya sesuai konsep ardanareswari.
Disarankan kepada semua pihak baik itu pemerintah, lembaga adat, institusi pendidikan, dan seluruh komponen masyarakat untuk selalu mengusahakan memberi kesetaraan dan keadilan kepada kaum perempuan walaupun dalam budaya patriarkhi ini sehingga perempuan dapat memiliki akses dalam segala lini juga untuk dapat mengisi pembangunan dalam segala bidang.

DAFTAR PUSTAKA

Agastia, dkk. 2001.Eksistensi Sadhaka dalam Agama Hindu. Denpasar: PT Pustaka Manik Geni.

Arniati, Ida Ayu Komang. 2008. Pandangan Gender Pada Smerti Dalam Perkembangan Modern. Surbaya : Paramitha

Awatara, Guna Daksa.2007. ”Diksa Pintu Menapak Jalan Rohani” dalam Diksa Pintu Menapak Jalan Rohani. Surabaya:Paramita.

Kajeng, I Nyoman dkk. 1999. Sarasamuccaya Teks Sansekerta dan Jawa Kuno. Surabaya: Paramita.

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Manuaba, I Gede Sugata Yadnya. 2019. Aksara Bali Dalam Upacara Dwijàti Di Griya Agung Bangkasa, Desa Bongkasa Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung, Tesis Program Pascasarjana, Institut Hindu Dharma Negeri, Denpasar

Miartha, I Wayan. 2015. “Diksanisasi Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi (MGPSSR) di Bali”. Disertasi. Denpasar:Program Pascasarjana IHDN Denpasar.

Miartha, I Wayan. 2007. “Kompetensi PaD Uita dalam ProspekPengembangan Hindu Masa Depan. Dalam Diksa Menpak Jalan Rohani. Surabaya: Paramita

Pudj a dan Sudharta.2004.Ma«ava Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu. Surabaya: Paramita

Suhardana, K.M. 2008.Dasar-Dasar Kesulinggihan. Surabaya: Paramita

Tim Penyusun. 2007. Diksa Pintu Menapaki Jalan Rohani. Surabaya : Paramita

Titib, I Made. 1998. Citra Wanita Dalam Kakawin   Ramayana:cerminanan

masyarakat Hindu tentang wanita. Denpasar : Paramita.

Triguna, IBG Yuda. 2007. Perempuan dalam Teologi Hindu, Makalah disampaikan dalam Semiloka WHDI Provinsi Bali tanggal 7 Juni 2007 di Denpasar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *