“PAWIWAHAN NGUBENG” Menikah dengan Sederhana Tanpa Mengurangi Makna

“PAWIWAHAN NGUBENG” Menikah dengan Sederhana Tanpa Mengurangi Makna

BADUNG – Pernikahan adalah suatu upacara yang bersifat sakral, tak hanya sebatas terikat pada pernikahan secara formal, tetapi sebuah pernikahan juga terikat dengan spiritual. Dalam agama Hindu Bali, upacara pernikahan adalah prosesi penyatuan Purusa (laki-laki) dan Pradana (perempuan) untuk menuju tahap hidup Grahasta Asrama (berumah tangga), dalam prosesinya melibatkan Tri Upasaksi atau tiga saksi yaitu Dewa Saksi dalam hal ini Tuhan, Manusa Saksi yaitu keluarga dan administrasi formal dan Bhuta Saksi yaitu bhuta kala, sehingga sebuah pernikahan dari kedua mempelai dinyatakan sah secara sekala dan niskala.

Dalam perkembangan zaman yang kian masif belakangan ini, pernikahan atau pawiwahan pun sedikit demi sedikit mengalami perubahan dari segi praktik, karena dampak dari perkembangan zaman itu sendiri. Namun esensi penting dari pernikahan tradisional tersebut masih bisa terjaga sebagaimana mestinya.

Secara umum prosesi pawiwahan atau pernikahan akan dilaksanakan di rumah mempelai, namun ada juga pernikahan yang dilaksanakan di griya dan di puput oleh Sulinggih setempat yang disebut dengan Pawiwahan Ngubeng.

Pada hari Senin, 15 Januari 2024, tepatnya di Griya Agung Bangkasa, Abiansemal-Badung dilaksanakan sebuah prosesi pernikahan yaitu Pawiwahan Ngubeng dari kedua mempelai yaitu Jero Mangku Gede Wayan Gunadi, putra pertama dari pasangan Alm. I Nyoman Subrata dengan Ni Gusti Ayu Oka Suartini & Jero Mangku Gede Luh Murtini, putri kelima dari pasangan I Nengah Wija dengan Nyoman Nuringin.

Jero Mangku Gede Wayan Gunadi mengatakan, pernikahannya ini diawali dengan pengangkatan dirinya sebagai anak dari Ida Sulinggih di Griya Bangkasa dan kemudian disatukan dengan calon istri pada prosesi Pawiwahan Ngubeng ini. Jero Mangku Gede Wayan Gunadi juga mengucapkan rasa terimakasihnya kepada seluruh keluarga dan para Ida Sulinggih yang sudah berkenan hadi di hari berbahagianya.

“Awalnya, saya diangkat menjadi anak oleh beliau yang menjadi seorang Sulinggih disini, karena keluarga saya dengan Ida di griya sangat sayang sama saya, kemudian Ida menyatukan saya dengan calon istri sekarang dengan tidak mengurangi makna apapun dan upacara lengkap”, ucap Jero Mangku Gede Wayan Gunadi.

“Hanya bisa mengucapkan terimakasih untuk keluarga yang sudah berkenan datang dan untuk Ida Sulinggih sudah berkenan hadir menjadi saksi di upacara ini, semoga kedepannya jika ada lagi keluarga dan pasangan lain yang ingin menikah, bisa di Griya Bangkasa karena Griya Bangkasa terbuka untuk umum”, pungkasnya.

Prinsip pawiwahan ngubeng ini nyatanya tidak jauh berbeda dengan pawiwahan atau pernikahan pada umumnya, hanya berbeda pada tempat pelaksanaannya saja. Menurut Ida Pandita Mpu Acharya Paramadaksa Jayananda, sebuah pernikahan bisa dilakukan di rumah sendiri atau di griya tergantung situasi dan kondisi kedua mempelai itu sendiri, mengingat griya itu sendiri merupakan sebuah tempat suci yang bisa melaksanakan berbagai upacara-upacara keagamaan yang sesuai dengan tatanan upacara yang ada di agama Hindu.

“Menurut Ida, sebenarnya inilah proses upacara, salah satunya adalah pernikahan, kita sebagai umat Hindu bali wajib melakukan upacara itu. Nah, contoh sekarang upacara pernikahan ini, ini bisa dilakukan di griya atau di rumah sendiri, tergantung situasi dan kondisi, seperti tempat atau rumahnya tidak memadai untuk mendatangkan sanak saudara banyak atau alas an yang lainnya, bisa dilaksanakan di griya dengan pertimbangan griya merupakan tempat suci yang bisa melaksanakan upacara apa saja, yang sesuai dengan tatanan upacara yang ada di agama Hindu”, tutur Ida Pandita Mpu Acharya Paramadaksa Jayananda.

Ida Pandita Mpu Acharya Paramadaksa Jayananda juga menyebutkan, keberadaan griya disini sesungguhnya hadir untuk bisa membantu masyarakat dalam kegiatan upacara keagamaan agar bisa terus berjalan tanpa terhalang biaya, tempat dan lain sebagainya. Mengingat di Bali sendiri masyarakatnya banyak melakukan berbagai upacara, mulai dari kelahiran hingga kematian yang memakan biaya yang tidak sedikit. Beliau juga menyampaikan harapan kepada kedua mempelai agar bisa terus bersatu dalam mengarungi kehidupan nantinya kelak bisa mencapai tujuan yang terbaik.

“Justru itu, keberadaan griya sesungguhnya justru ingin membantu masyarakat, jangan sampai upacara – upacara yang harus dilakukan oleh masyarakat tidak bisa dilaksanakan dengan alasan apapun itu, baik itu karena alasan tempat, alasan biaya. Sekarang sesungguhnya kita beragama Hindu itu, beragama Hindu yang luwes, beragama Hindu yang ringan, yang murah tidak mesti harus mahal. Ida Nak Lingsir (seorang sulinggih atau pendeta) tujuannya untuk membantu Masyarakat, supaya pelaksanaan upacara bisa berjalan tahap demi tahap dan tidak ada yang terlepas. Contoh misalnya upacara pernikahan, potong gigi, menek kelih atau upacara apa saja bisa dilakukan, termasuk mungkin upacara nyuciang atau mensucikan leluhur seperti atma wedana itu bisa dilakukan di griya”, ungkap Ida Pandita Mpu Acharya Paramadaksa Jayananda.

“Kebetulan ini anak-anak ida, ida berharap dengan proses upacara pernikahan ini yang menyatukan anak berdua, betul-betul menyatu, menyatu dalam pikiran, menyatu dalam gerak dan menyatu dalam tujuan untuk mengarungi kehidupan di dunia ini, supaya betul-betul tercapai tujuan jagadhita atau tercapainya kesejahteraan di dunia ini. Moksartham, supaya kita suatu saat bisa melepaskan keterikatan-keterikatan dunia, sudah barang tentu pasti ada yang kurang ada yang lebih, jadi yang paling penting bisa saling menerima setelah itu baru bisa mengarungi kehidupan yang panjang ini”, tutup beliau. (prp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *