Berkawan Dengan Kegigihan, Kunci Perjuangan di Balik Kesuksesan Anak Yatim

Berkawan Dengan Kegigihan, Kunci Perjuangan di Balik Kesuksesan Anak Yatim

I Ketut Darsa Suta – UD. Suta Karya

Keberhasilan suatu usaha agaknya bergantung pada siapa yang bertahan dengan keras hantaman gelombang. Rintangan hidup yang bisa saja tergenang lalu bermuara pada nasib, tak mengikis semangat juang untuk terus menapaki jejak langkah untuk menjadi lebih baik. Mantra bijak inilah yang turut dibuktikan oleh I Ketut Darsa Suta sejak awal membangun usaha demi membina karir dan merubah arah hidup yang lebih baik. Baginya, tantangan bukanlah suatu hal yang menghambat perjuangan usaha. Justru ketika sebuah tantangan menghampiri, maka hal tersebut menjadi momentum untuk lebih menggali potensi diri; untuk menemukan peluang-peluang dan pembelajaran yang lebih baik lagi.

I Ketut Darsa Suta kini menikmati buah dari hasil kerja kerasnya. Mendirikan sebuah bisnis dan jasa yang bisa memudahkan setiap konsumen, baik di bidang distributor dan supplier bahan-bahan pokok makanan dan berbagai jenis sembako lainnya. Tak hanya itu, berbagai kebutuhan industri, home industry, toko, pabrik, dan lain-lain. Bisnis ini pun di kenal dengan nama UD. Suta Karya yang kini masih beroperasi dan semakin berkembang di tengah geliatnya kebutuhan masyarakat. Namun di balik itu semua, ada jerih payah atau bahkan harus berkawan dengan kegigihan sebagai kunci untuk meraih kesuksesannya itu.

Saat ditemui di sela kesibukannya, pria yang lebih akrab disapa Suta oleh kebanyak orang-orang terdekatnya ini banyak menceritakan banyak hal tentang perjalanan panjang yang mesti ia lalui. Ia yang terlahir tak seberuntung kebanyakan anak-anak sebayanya dulu harus merasakan pahitnya hidup tanpa peran dan kasih sayang dari sosok Ayah, I Nyoman Suta. Berdasarkan cerita, ia ditinggal sosok ayah yang meninggal sejak Suta menginjak usia 3 tahun. Sementara itu, saat menempuh pendidikan SD, Ibunya, Ni Ketut Tampet, harus menikah lagi dan terpaksa melepas Suta tinggal sendiri. Bersama kakak dan keluarga besarnya, ia pun dibesarkan. Meski tanpa sentuhan kasih dan bahkan perhatian orang tua, karakter untuk hidup mandiri terbentuk secara alami.

Sambil menjalankan tugas sebagai anak sekolah, Suta harus tinggal nomaden atau berpindah-pindah. Hal itu ia lakukan agar bisa melanjutkan penghidupan. Pekerjaan apa pun ia lakukan demi memenuhi isi perutnya. Pekerjaan itu ia lakukan dari rumah ke rumah dan meminta pekerjaan seperti menjaga ladang, berkebun dan sebagainya. Selama menjalankan kesehariannya itu, berpindah dan tinggal dari rumah ke rumah, dalam benak kepolosannya yang baru menginjak usia 8 tahun, tumbuh niat yang besar untuk bisa kembali berjumpa dengan Ibunya. Bagaimana pun juga, sisi lain jiwa yang tumbuh layaknya kebanyakan anak-anak kian merangsang benaknya untuk bisa merasakan pelukan hangat, tegur, suara, dan kelembutan perhatian orang tua. Dan Suta mengaku, bahwa kesibukannya untuk pergi bekerja juga ingin mencari Ibu-nya.

“Pernah sekali waktu, sepulang saya kerja sekitar tahun 70-an, di saat malam dan kebetulan saya tidur di teras Banjar, situasi masih sangat gelap karena belum ada listrik. Jadi saat bangun pagi, saya tiba-tiba langsung lari balik ke rumah dan saat itu lah saya benar-benar kembali ke rumah. Saat saya berlari yang kebetulan di lihat oleh keluarga, saya di ajak kembali. Itu semacam alam yang menggerakan dan saya sendiri tidak memahami itu,” jelas Suta mengenang. Sejak kejadian itu, Suta sudah mulai diperhatikan oleh banyak keluarga. Seperti anak yang hilang dan datang kembali, Suta tetap bekerja sesuai dengan kemampuannya sambil menuntaskan tugas sekolah. Pria asal Jalan Sedap Malam ini pun sukses menamatkan pendidikan SMA di sekolah Rajamuna Denpasar.

“Jujur saja, sekolah pun syukur aja ya saya bisa sampai tamat SMA. Sekarang pun kadang bingung, loh kok bisa ya. Tapi memang seperti itu lah kondisi saya. Syukurnya dulu masih punya kakak kandung saya yang juga sesekali ikut membiayai sekolah saya. Sesekali juga, saat sudah bertemu Ibu, beliau ikut membiayai sekolah saya,” tutur Suta.

Perjalanan hidup Suta terus berlanjut hingga di usia dewasa. Keputusan yang cukup besar, karena dirinya harus siap hidup mandiri. Dan setelah menamatkan SMA, arah hidupnya sudah mulai terbentuk saat cinta yang mengarahkannya. Suta pun bertemu dengan sosok gadis cantik yang kini menjadi pendamping hidupnya, Ni Nyoman Sukardi. Layar babak baru mulai di bentangkan. Bisa hidup serta berjuang mengarungi perahu rumah tangga tentu kebahagiaan yang tiada tara. Namun, tidak bagi banyak orang. Anggapan serta stigma miring terhadap Suta dan Istri karena harus menikah muda kerap menjadi buah bibir perbincangan.

Namun bagi Suta, hal tersebut semacam pemantik api semangatnya untuk berjuang demi membuktikan diri. “Saya tidak malu untuk mengakui. Karena memang situasi waktu itu benar-benar tidak ada apa-apanya. Tetangga sering mengatakan, apa yang mesti di makan kalau sudah berani menikah mudah seperti ini. Tapi semua itu saya jadikan sebagai cambuk motivasi untuk tetap bekerja keras dan bisa berdiri di atas kaki sendiri. Bisa cari makan sendiri dan tentu tidak lagi membebani orang lain,” aku Suta secara tegas.

Sejak saat itu lah Suta dan istrinya mulai menata langkah. Pernah merasakan bagaimana sulitnya menjadi seorang petani yang menggarap ladang orang lain, sambil beternak. Pukul 4 pagi ia sudah nyemprot di sawah dan terkadang bekerja sampai larut malam, sekitar jam 8 malam. Pekerjaan itu terus dilakoni hingga kelahiran anak pertamanya. Yang ia ingat betul kala itu adalah dirinya hanya memiliki uang sebanyak 4 ribu rupiah untuk membiayai persalinan anak pertama di dukun tradisional.

“Seiring berjalannya waktu, saya sudah mulai bisa mencari makan sendiri dan pernah bekerja selama 5 tahun dengan orang cina. Hingga ada panggilan dari saudara sepupu saya yang bekerja di money changer. Nah, lama bekerja disana 5 tahun kemudian saya kontrak tempat sendiri dan join sama teman. Karena saat itu lagi booming-nya pemberitaan tentang buruknya bisnis gelap di seputaran dunia kerja itu, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti. Jadi memang saat itu juga kami kalah bersaing karena tidak ingin bekerja curang,” jelas ayah dua anak tersebut.

Dalam situasi itu, Suta tidak kehilangan akal. Ia pun beralih profesi dan lebih serius menjadi peternak ayam kampung. Usaha tersebut sudah ia siapkan sejak bekerja di perusahaan money changer. Rasa letih karena harus memulai kembali usaha tersebut tidak membuat Suta menyesali keputusan sebelumnya. Ia justru merasa bersyukur sebab mendapat kesempatan belajar mengelola bisnis baru di bidang peternakan ayam. Tidak hanya mendapat pengalaman berharga soal beternak ayam, ia juga memperoleh ilmu pemasaran serta manajemen usaha. Bahkan, pria kelahiran 10 Mei 1968 tersebut mengaku jika bisnis tersebut malah memberi penghidupan.

Dan bahkan di luar dari dugaan, Suta bisa membuat 500 kandang ayam dan semakin berkembang. Sayang, takdir yang telah diguratkan tidak sesuai dengan harapan yang telah digantungkan. Usaha beternak ayam kampung harus tersendat karena situasi krisis ekonomi tahun 1997. “Memang nasib tidak disana, Padahal waktu itu sehari saja sudah menghasilkan 100 butir telur. Bisnis ini saya rintis selama dua tahun. Namun itu tadi ketika jatuh, syukurnya istri masih sangat mendukung dan ikut bekerja untuk bisa mengantar ke setiap warung. Nah disamping itu, karena krisis juga, saya nyambi ikut jualan pupuk, jual bibit sayur-sayuran, dll. Intinya yang penting bisa makan,” kenangnya kisah dulu.

Waktu berjalan dengan cepat, berputar dari detik menuju ke hitungan jam lalu berganti lagi menjadi hari. Kegigihan untuk kembali bangkit kian di pupuk. Hingga akhirnya dengan semangat itu pula, Suta memiliki modal yang cukup untuk membangun sebuah usaha yang diberi nama UD. Suta Karya. Berawal dari merintis usaha di bidang bangunan, seperti memproduksi paving dan berlahan merambah ke batako, usahanya ini kian memperlihatkan perkembangan ke arah positif. Bagi Suta, apa yang telah ia lalui hingga saat ini merupan campur tangan Tuhan. Pernah melalui masa-masa sulit yang hanya doa jadi sandaran mampu dilaluinya. Kebahagiaan kini ia rasakan, sebab Ibu yang dulu sempat pergi meninggalkannya kini kembali dan tinggal bersama mereka. Sementara itu juga, Anak-anaknya kini sudah bisa merasakan pendidikan hingga perguruan tinggi.

“Mungkin pesan saya kepada anak-anak adalah paling penting jangan setengah – setengah melakukan sesuatu. Harus tetap bersyukur dan bekerja keras. Tetap kembali kepada sang Pencipta. Karena nasib sudah ditakdirkan dan Tuhan sudah mengatur,” tutup Suta. Sementara itu, Ni Nyoman Sukardi yang sempat diwawancarai ini menambahkan bahwa dirinya bersama sang suami sudah bersepakat sejak awal untuk menjalankan segala sesuatu secara bersama-sama. Baik suka maupun duka, pun dalam untung dan malang, harus dilalui bersama. Ia tidak mengelak jika kekuatan itu lah yang menjadi resep selama membina rumah tangga dan usaha. Keduanya saling menopang dan bergandengan. Dan tidak kalah pentingnya lagi, bahwa dari semua peristiwa yang telah mereka lalui diakuinya berkat kuasa Maha Pencipta untuk menentukan takdir dan nasib mereka berdua.

“Dulu tahun 1997 pernah merasakan sulitnya menjalani hidup bersama suami. Bahkan, untuk makan pun sangat sulit. Sementara anak-anak masih sangat kecil. Tapi itu tadi, saya dan suami tetap berpegang teguh pada kebersamaan. Itu kesepakatan kami untuk tetap semangat. Kini hasil yang kami dapat pun paling tidaknya berguna dan bisa mensyukseskan anak-anak agar tidak membodohkan banyak orang. Namun dari semua itu, saya meyakini bahwa ada campur tangan Tuhan. Saya selalu berserah diri kepada Tuhan. Sehingga pesan yang selalu saya ingatkan kepada mereka adalah Jangan sampai menimbulkan ego tinggi dan harus bisa menghargai pekerjaan orang lain. Jangan sombong dengan keadaan saat ini. Tetap bersyukur,” ungkap Ni Nyoman Sukardi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *