Sri Lina Anisa – Srikandi Boutique
Sosok wanita juga tak terhindar lahir sebagai sosok pejuang dalam keluarga. Zaman ini perjuangan mereka pun tak main-main, berperang menghadapi emosi diri sendiri, di tengah memperjuangkan kehormatan diri dan keluarga. Sri Lina Anisa, sosok yang bisa dikatakan “Srikandi” masa kini, yang tidak mengenal upaya menyerah dalam dirinya, demi memperjuangkan mimpi dan mencapai sebuah tujuan kesuksesannya, melalui dalam pendirian usahanya, boutique moslem berlabel “Srikandi Boutique”.
Nama “Srikandi” sengaja dipilih Sri Lina pada usaha butiknya, awalnya karena ia tak ingin melupakan darah keturunan Hindu yang masih melekat dalam dirinya, bahkan setelah menikah dan mengikuti keyakinan suami yang berasal dari Mojokerto.
Namun sebelum perjalanannya membangun usaha butik pakaian muslim, diawali dari keputusan Sri Lina untuk berhijrah mengikuti panggilan hatinya yang berkisar pada tahun 2009/2010, ia pun mendapat dukungan penuh dari keluarga akan keputusannya tersebut, khususnya dari Sang Suami, Dwi Wahyono.
Saat akan memilih hijab yang cocok untuknya, Sri Lina lebih tertarik untuk menggunakan hijab yang modern, tentu dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah islam. Namun apa yang ia cari, tak mudah ditemui saat itu. Ia pun mulai berpikir, mengapa bukan ia saja yang memulai untuk membuka peluang usaha ini.
Dalam pewayangan “Srikandi” merupakan tokoh wanita yang gigih, berguna bagi banyak orang dan terus berjuang demi mencapai sebuah tujuan yang baik. Diharapkan definisi ini bisa menjadi cerminan dan mewakili kaum wanita yang menjadi fokus dari pemasaran usahanya. Tokoh pewayangan wanita tersebut pun, juga diharapkan akan memberikan sebuah motivasi Sri Lina dalam perjalanan usaha ini, agar terus bertahan dalam kondisi apapun.
Kurang lebih 11 tahun yang lalu berdiri, Srikandi Boutique mulai mengisi kesibukan Sri Lina meski masih berupa rumah biasa.
Dalam mempromosikan usahanya di masa itu, ia sempat beriklan di surat kabar dan memperdayakan diri sendiri dengan menggunakan produk yang ia jual, kemudian ia pamerkan kepada ibu-ibu, saat ia melakukan kegiatan di luar rumah. Mendapat reaksi yang positif, atas upayanya tersebut, sudah menjadi semangat tersendiri bagi ibu dari lima orang anak ini.
Dari upaya tersebutlah, informasi butiknya dari mulut ke mulut pun lumayan tersampaikan. Menariknya ada yang sampai tertarik dengan pakaian pribadi yang dikenakan olehnya, yang sudah dikenakan lebih dari sekali olehnya. Bahkan customer tak keberatan bila harga pakaiannya tetap sesuai dengan harga normal.
Demi semakin agresif dalam memasarkan usahanya, Sri Lina memohon izin untuk kemudian membuka tokonya secara resmi. Permintaannya tersebut mendapat restu dan dimanfaatkanlah salah satu ruangan di rumah yang awalnya akan direncanakan sebagai ruang tamu, kemudian dialih fungsikan sebagai toko “Srikandi Moslem Boutique” pada tahun 2010 yang beralamat di Jalan Pulau Buru No.30, Denpasar.
Tidak Ada Bantuan yang Datang, Kecuali dari Diri Sendiri
Tentu sebuah usaha, tak lepas dari proses dalam menghadapi tantangan demi tantangan yang datang. Hal ini pun pernah dirasakan oleh Sri Lina, saat ia harus menunggu hasil penjualan di satu hari sebesar 20 ribu, agar bisa makan untuk hari itu yang rasanya sulit sekali. Belum lagi kondisi saat itu tengah terlilit hutang dan biaya anak-anak sekolah yang harus segera terpenuhi. Dalam kondisi keterpurukan tersebut, keuangan suami pun kondisinya tidak stabil, jadi benar-benar tantangan yang luar biasa dirasakan Sri Lina dan keluarga dalam menghadapinya.
Sri Lina yang berangkat dari latar belakang orangtua sederhana pun tak tega untuk ia meminta bantuan. Sedangkan salah satu temannya yang bukannya memberi dukungnya, malah bertandang ke tokonya hanya untuk menyudutkan butiknya, bahwa tidak akan ada yang datang membeli koleksi pakaiannya, di butik yang menyasar pada customer menengah ke bawah tersebut.
Tak ada orang lain yang seolah bisa menyelamatkannya dalam kondisi tersebut, selain dirinya sendiri dan doa kepada Tuhan. Omongan-omongan negatif yang sempat membuatnya mengelus dada, kemudian tak ingin membuatnya berlarut-larut dalam kesedihan. Justru ia berupaya mengolah emosinya untuk lebih ke arah positif dan menata ulang hatinya dengan memotivasi diri sendiri, bahwa ia juga berhak untuk meraih kesuksesan dalam karirnya.
Inspirasi dari Perjuangan yang Tak Kenal Menyerah oleh Orangtua
Sri Lina lahir di sebuah desa bernama Kubu di Kabupaten Bangli, dimana ia dibesarkan dari orangtua sebagai pedagang acung dan ayahnya, sebagai tukang. Karena berasal dari ekonomi keluarga yang menengah ke bawah, ia tidak bisa menjadi anak-anak yang menikmati masa bermainnya seperti anak-anak seusianya. Ia dituntut untuk ikut membantu orangtua berjualan canang sejak jam 1 siang dengan menaiki angkot, hingga pada malam harinya, bila tidak mendapat angkot, ia dan ibu, Ni Wayan Wali terpaksa numpang menaiki truk yang hilir mudik di jalan.
Sri Lina yang saat itu masih kecil, belum terlalu mengerti bagaimana perjuangan orangtuanya dalam bekerja. Barulah setelah ia dewasa dan kembali teringat akan pengalaman tersebut, ia benar-benar memahami perjuangan keluarga yang sangat tulus dan tak mengenal kata menyerah demi kebutuhan anak-anaknya.
Perjuangan orangtua, terutama datang dari sosok ibu yang menjadi inspirasinya, kemudian mendorong keinginan Sri Lina untuk menghadiahi beliau, dengan menjadi sosok yang sukses suatu saat nanti. Berbagai cara akan ia tempuh, meski beliau tidak secara langsung meminta kepadanya. Namun ia meyakini ada sebuah doa dari ibu dan suami, yang mengiringi setiap langkahnya. Juga anak-anak yang ikhlas ditinggalkan untuk sementara, saat ia harus mencari supplier hingga ke luar kota.
Pencapaian yang diraih wanita kelahiran 20 Agustus 1981 ini, berawal dari mimpi yang harus tahu ke mana langkah dan tujuannya untuk mengejar mimpi itu. Tidak boleh mudah menyerah, apapun tantangannya, ia selalu mengingat jerih payah yang ia lakukan adalah demi membahagiakan orangtua, terlebih bermanfaat bagi banyak orang, dengan menyediakan lapangan pekerjaan untuk mereka.
Karena alasan tersebut pun, ia berupaya menghindari untuk merumahkan karyawan, apalagi memberhentikan mereka. Langkah yang harus ia ambil, sebagai pemilik ialah mengatur stategi, agar para karyawannya tetap bekerja, meski di tengah pandemi.
Sri Lina menyadari tak ada perjuangan yang sia-sia, bila dibarengi dengan doa dan perbuatan baik kepada sesama. Setiap harinya ia berupaya untuk selalu bersedekah, dari penghasilan yang ia peroleh, entah berupa materi maupun tenaga. Sesuai dengan prinsip yang ia pegang, yang hampir menyerupai makna ilmu padi, semakin besar penghasilannya, bukan level kehidupan yang ia tingkatkan, melainkan sedekahnya kepada mereka yang membutuhkan.
Di Quora saya menemukan satu psikolog yang dengan lugas menulis untuk berbagi, bisa lihat tulisan dia disini: https://id.quora.com/profile/Chiyoko banyak sekali yang bagus-bagus. Dari trik psikologi sampai dengan ilmu-ilmu sosial. Dia juga sangat ramah untuk menjawab DM langsung.