Subak Warisan Budaya Ribuan Tahun dan Filosofi Menjaga Alam dari Bali

Subak Warisan Budaya Ribuan Tahun dan Filosofi Menjaga Alam dari Bali

Dunia tak hanya mengenal Pulau Bali dengan keindahan pantai dan kekayaan ragam seni budayanya saja. Bali juga terkenal dengan wisata alam pegunungan dan pemandangan area persawahan hijau berundak – undak yang mempesona atau dikenal dengan sawah terasering.

Terasering adalah salah satu metode dalam manajemen pertanian yang dibuat untuk menyiasati lahan di daerah berkontur tanah ekstrem seperti dataran tinggi dan lereng gunung. Dengan membuat terasering, air dari ketinggian diharapkan akan mengalir dengan kecepatan dan volume yang selalu terkendali.

Sebagai sistem tradisional pengairan sawah yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali, Subak mengakomodasikan dinamika sosio-teknis masyarakat setempat. Sistem irigasi ini mencakup lahan – lahan di teras pegunungan untuk mengatur pengairan lahan persawahan.

Baca Juga : Harus Profesional Demi Membentengi LPD Desa Adat Manggis Sebagai Lembaga Keuangan Adat

Kontur tanah pegunungan di Bali memang membuat irigasi sangat sulit, ditambah lagi dengan populasi yang padat. Maka sumber daya air harus dikelola dengan prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan, harmoni dan kebersamaan, didistribusikan sesuai dengan kepentingan masyarakat.

Dengan penggabungan semua unsur-unsur tersebut, petani Bali berhasil mengelola pertanian padi paling efisien di nusantara. Sistem subak ini mewakili budaya Bali yang berbasis pertanian, khususnya, pertanian lahan basah yaitu padi. Di subak, tercermin budaya gotong – royong, pelestarian lingkungan, pengetahuan musim, angin, dan pengendalian hama.

Dilansir dari Historia, keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali kali pertama ditemukan dalam Prasasti Sukawarna yang bertarikh 882 Çaka (Era Çaka dimulai pada tahun 78 Masehi). Di dalam prasasti itu ada kata ‘huma’, yang mana kala itu lazim digunakan untuk menyebut ladang berpindah. Kemudian pada Prasasti Trunyan yang bertarikh 891 Çaka, tertulis kata “serdanu” yang berarti kepala urusan air danau.

Sejarah Subak Bali juga tercatat dalam Prasasti Bebetin (896 Çaka) dan Prasasti Batuan (1022 Çaka). Pada dua prasasti itu dijelaskan ada kelompok pekerja khusus sawah di Bali, keahlian mereka adalah membuat terowongan air. Bukti – bukti arkeologis tersebut menunjukkan masyarakat Bali telah mengenal sebentuk cara mengelola irigasi pada sekitar abad ke-10.

Subak diatur oleh seorang pemuka adat yang disebut pekaseh dan biasanya juga berprofesi sebagai petani. Subak adalah salah satu manifestasi Tri Hita Karana, yaitu filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.Sistem Subak Bali bekerja dengan memakai metode irigasi continue dan bergilir. Dalam Sistem Subak, para petani diorganisir dan dibagi dalam dua atau tiga kelompok persawahan. Setiap kelompok persawahan menerima distribusi air irigasi yang adil.

Apabila wilayah subak di bagi dalam dua kelompok persawahan (Kelompok I dan Kelompok II misalnya), maka pada musim hujan (musim tanam pertama/MT I) kedua kelompok menerima air irigasi. Sedangkan pada musim kemarau (MT II), untuk kelompok I menanam padi dan kelompok II menanam palawija.

Kemudian pada MT III, kelompok I menanam palawija dan kelompok II menanam padi. Itulah contoh praktik dari metode bergilir (dalam bahasa setempat disebut nugel bumbung).

Apabila persawahan dibagi dalam tiga kelompok maka pada musim hujan semua kelompok menerima air irigasi, tetapi pada musim kemarau kelompok hulu (persawahan di bagian hulu) berhak menerima air yang pertama, kemudian pada musim tanam selanjutnya digeser ke kelompok di bagian tengah, dan terakhir digeser kekelompok hilir.

Baca Juga : “Apotek Nathan Farma” Sebuah Harapan dan Bentuk Kepedulian Untuk Sesama

Secara total Bali memiliki sekitar 1.200 penampung air dan antara 50 dan 400 petani mengelola persediaan air dari satu sumber air. Petani masih menanam padi tradisional Bali tanpa bantuan pupuk atau pestisida, di mana lansekap secara keseluruhan dianggap memiliki konotasi suci.

Di dalam alam kosmos masyarakat Bali terdapat lima situs yang menampilkan komponen utama alam, agama, dan budaya yang saling berhubungan dari sistem tradisional, di mana sistem subak masih berfungsi penuh.

Situs – situs tersebut adalah kuil air tertinggi Pura Ulun Danu Batur, kawah dari Danau Batur dianggap sebagai asal mula dari setiap mata air dan sungai. Kemudian bentang alam subak di daerah aliran sungai Pakerisan, sistem irigasi tertua yang diketahui di Bali.

Ada pula Lanskap Catur Angga Batukaru dengan teras yang disebutkan dalam prasasti abad ke-10 menjadikannya salah satu yang tertua di Bali dan contoh utama arsitektur candi Bali klasik. Dan selanjutnya, kuil air Pura Taman Ayun, ini yang paling besar dan memiliki bentuk arsitektural yang unik.

Properti ini sepenuhnya mencakup atribut – atribut utama dari sistem Subak dan dampak mendalam yang dimilikinya terhadap lanskap Bali. Proses – proses yang membentuk bentang alam, dalam bentuk pertanian irigasi bertingkat yang dikelola oleh sistem Subak, masih bertahan selama ribuan tahun.

Daerah pertanian ditanami secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan persediaan air mereka dikelola secara demokratis. Tak ayal, UNESCO sendiri telah memasukkan Subak sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *