I Wayan Sudiantara – Rumah Desa Bali
Jauh sebelum arahan Presiden Jokowi pada tahun 2017 untuk menghimbau akan kebutuhan membangun desa menjadi desa wisata, masyarakat Pulau Bali secara sadar telah menerapkannya sebagai pioneer pendapatan unggulan demi memperbaiki roda perekonomian. Ada yang bergeliat membangun desa melalui pembentukan kelompok atau komunitas untuk memanfaatkan sekaligus mengembangkan beragam potensi alam maupun budaya-nya sebagai daya tarik utama, dan ada pula yang secara individual membawa gagasan baik di tengah masyarakat desa untuk sama-sama membangun kesadaran lewat pemberdayaan demi memperkenalkan desa sebagai objek wisata.
Layaknya yang telah dilakukan oleh Wayan Sudiantara, sosok hebat di balik hadirnya sebuah wisata unik di tengah-tengah masyarakat desa, tepatnya di Desa Baru, Banjar Baru, Kecamatan Marga, Tabanan. Hadir dengan bangga di tengah geliat industri pariwisata yang semakin berkembang, Wayan Sudiarta malah menampilkan sebuah objek wisata alami namun tampak berkesan akan kesederhanaannya. Usaha tersebut di kenal dengan nama Rumah Desa Bali. Tentunya, arah langkah dengan mengayuh perahu usaha ke tengah-tengah lautan masyarakat yang kerap berbondong-bondong menganggap sebuah perubahan akan di raih jika mengais rejeki dari kota, sangatlah tidak mudah. Semuanya butuh proses dan kerja yang keras.
Pun beragam anggapan bahwa kesuksesan dalam kompetisi hidup di ukur dari seberapa banyak materi yang dimiliki, tidaklah sejalan dengan prinsip hidup Wayan Sudiantara. Pria yang hidup sederhana dengan beragam situasi kehidupan di desa ini beranggapan bahwa sebuah kesuksesan akan bisa dirasakan jika dimulai dari lingkungan sendiri. Mulai menyadari dan memahami bahwa masih ada banyak potensi yang mampu menjadi penopang hidup untuk lebih baik, bahkan menebarkan manfaat kepada orang lain. Pria kelahiran Tabanan, 15 Oktober 1968 ini pun mencoba memberi ide dan gagasan untuk memperkenalkan potensi desa tempat tinggalnya dengan mendesain konsep unik.
Dan Hingga kini, meski tersendat dengan situasi pandemic, harapan serta semangatnya untuk terus mempertahankan dan mengembangkan Rumah Desa masih tetap ia yakini. Baik itu terkait potensi wisata budaya alami yang tetap hadir bersaing di tengah menjamurnya objek wisata modern, dan juga di tengah perkembangan arus zaman yang secara tak sadar menggerus budaya serta pemikiran manusianya. Dengan melibatkan sejumlah masyarakat sekitar dan mempekerjakan belasan karyawan tetap, Wayan Sudiantara terus bereksperimen menyiapakan konsep wisata unik sebagai persiapa bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Seperti misalnya menyajikan beragam jenis pangan lokal yang khas dengan konsep tradisional. Seperti dua varian kopi, diantaranya kopi jenis premium dari Pupuan dan kopi asli Bali. Selain itu, tawaran produk minyak, makanan dan lain-lain diolah secara tradisional. Sementara itu melalui Rumah Desa yang di desain dengan nuansa alam nan sejuk, beragam aktivitas yang bisa dilakukan sesuai permintaan para pelancong, akan dilakukan secara profesional oleh pihak Rumah Desa.
Sebut saja tentang aktivitas Balinese cooking class, Bali spiritual experience, adventure atau jelajah, agrowisata, berkebun, hingga literasi budaya atau kultur desa setempat, turut menjadi sumber potensi yang bernilai tinggi dan mampu berkesan dalam setiap ingatan pengunjung. Pria yang lebih akrab disapa Sudiantara ini pun mengatakan jika usaha Rumah Desa merupakan ruang alternatif bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih dekat tentang Bali. Baik itu dari segi manusia, sosial, alam dan budayanya. Di tengah kesuksesannya itu pula, Sudiantara banyak menceritakan tentang cikal-bakal lahirnya gagasan dan ide membangun sekaligus mengembangkan objek wisata dari desa. Dan semuanya berawal dari banyak tempaan-tempaan yang ia lalui.
“Pastinya karena saya ini lama berkecimpung di dunia pariwisata, karena juga melihat ketertarikan wisatawan datang ke Bali yang ingin mengenal sekaligus belajar tentang budaya, saya beranggapan baik jika hal ini pula yang mesti di angkat. Karena kalau kita tidak memperkenalkan itu, pelan-pelan tidak ada daya tariknya untuk perkembangan pariwisata di Bali. Dengan dasar itulah kami membangun sebuah objek wisata desa. Karena kalau kita membangun sebuah tempat yang lebih modern dan menyerupai di perkotaan, tentu wisatawan tidak akan yakin situasi riil tentang kebudayaan Bali,” jelas Sudiantara saat diwawancarai di sela kesibukannya.
Alasan lain yang juga turut mendorong niat untuk terus konsisten mengembangkan usaha Rumah Desa, bahwa Sudiantara ingin merubah mindset atau pola pikir banyak orang muda agar memanfaatkan potensi sekitar, kemudian merawatnya sebagai bagian dari aset wisata. “Sederhananya adalah merawat, menjaga sekaligus melahirkan roda perekonomian baru melalui wisata budaya. Sehingga dari situ tujuan kami adalah agar mulai bergerak dari Desa. Mulai membangun sebuah desa terutama agar memberikan lapangan pekerjaan baru. Disini saya ingin mengajak kepada anak-anak muda juga agar tidak perlu mencari pekerjaan di Kota. Sehingga dengan memanfaatkan potensi yang ada di desa kita bisa mendapat pekerjaan,” jelas ayah tiga anak ini.
Menelisik lebih jauh, Sudiantara ternyata membaca peluang dan melahirkan ide serta gagasan baik tersebut dari kondisi lingkungan sekitar desa. Dalam lingkup keturunannya, contoh Sudiantara, dari jumlah keluarga sebanyak 7 kepala keluarga dimana ada 41 jiwa yang masih tinggal di rumah adat dan tak sedikit pula saudara-saudara yang sudah merantau bekerja di kota untuk mencari kehidupan yang bagus. Sedang saat itu pula mereka belum pulang ke Desa untuk membangun desa.
“Nah dari situ, saya berpikir dan kerap membicarakannya bersama keluarga, kenapa kita tidak membuat suatu usaha budaya agar nanti rumah adat dan tradisi kita tetap terjaga? Sehingga peluang ini lah yang saya ambil untuk coba memulai membangun wisata desa,” imbuhnya.
Selain dari beragam tempaan itu, Sudiantara juga tidak mengelak bahwa semangat serta kerja kerasnya untuk meraih sebuah perubahan berasal dari didikan kedua orang tua dan campur tangan Tuhan. sejak kecil, sebagai seorang anak kampung, Sudiantara sudah di ajarkan untuk bekerja. Bahkan di balik ketegasan sosok Ayah-Ibu, I Ketut Tuwung dan Ni Made Rayig, kian membentuk karakter dan pola pikirnya untuk lebih rendah hati dan terus belajar bersyukur dari setiap persoalan hidup.

Saat menginjak usia lebih dewasa, dirinya pun dilibatkan untuk ikut membantu menyabit sawah, mencari makanan ternak dan lain sebagainya. “Sehingga setelah tamat dari SMEA Negeri Tabanan, saya merantau di Denpasar. terus disanalah kami banyak belajar dari pengalaman kerja. Seperti memulai dengan pekerjaan sebagai tukang cuci piring di salah satu akomodasi pariwisata. Pelan-pelan ada motivasi untuk bekerja lebih baik lagi sehingga bisa mendapat posisi sebagai waitress. Tentu secara berlahan tuntutan kerja semakin sulit karena kita harus bisa menguasai Bahasa asing. Namun melalui kursus di beberapa tempat ini lah kami bisa berkomunikasi baik dengan tamu,” kenang pria yang hanya menamatkan pendidikan SMA ini.
Roda perekonomian pariwisata kian melaju pesat kala itu dan jangakauan pertemanan Sudiantara semakin bertambah. Tamu mancanegara pun silih ganti berdatangan termasuk ketika dirinya kembali menamatkan kursus Bahasa jerman di tahun 1992. Dengan bermodal sertifikat lisensi guide dan jalinan pertemanan yang baik, suami dari Ni Ketut Pariantini mulai membaca peluang-peluang untuk berusaha di atas kaki sendiri. Mengandalkan uang tabungan selama 20 tahun mengemban pekerjaan di industri pariwisata, pelan-pelan ia mencoba berkembang memanfaatkan potensi yang dimiliki. Sudiantara pun memilih jalan berbeda untuk kembali ke desa dan memulai membangun Rumah Desa.
Setelah itu kita bergaulnya lebih luas, dan di tahun 90an banyak wisatawan jerman dan kami harus kursus lagi Bahasa Jerman dengan gaji sendiri. Setelah 1 tahun kursus Bahasa Jerman, kami mendapat lisensi guide berbahasa Jerman. Hidup mandiri dan sejak saat itulah kami sudah mulai membaca peluang-peluang yang lebih memungkinkan untuk bisa berusaha sendiri. Kurang lebih 20 tahun bergeliat di dunia pariwisata, sedikit demi sedikit kami punya modal untuk kembali ke Desa dan membangun desa. “Astungkara, apa yang kita harapkan dulu masih bertahan dan berjalan sampai sekarang ini,” aku Sudiantara.
Sementara itu, ketika ditanya terkait seperti apa motivasi hidup dan pengalaman yang mesti dibagikan kepada setiap kaum milenial, Sudiantara mengatakan agar anak-anak muda harus semangat, pikirkan masa depan jangan hura-hura. Sebab motivasi sederhananya adalah jangan pernah lupa untuk menabung demi masa depan. Ia pun mengaku meski zaman anak muda kini sudah sangat berbeda, namun tanggung jawab besarnya untuk tetap memperhatikan sang buah hati agar bisa belajar mandiri tentu dengan cara melibatkan perannya di dunia bisnis.
“Untuk mengantisipasi keteledoran gaya hidup anak muda yang milenial yang kini sudah merasa pada titik aman, saya pun mencoba melebarkan sayap di bidang bisnis dan yang mengelola itu sendiri adalah anak-anak saya. Sehingga dengan begitu, ia pasti akan belajar paradigma dan sulitnya membangun sebuah bisnis. Karena pada akhirnya, semua akan kita serahkan ke anak-anak muda untuk melanjutkan perjuangan ini. Karena sudah waktunya anak muda yang unjuk gigi. Tidak lupa, yang juga saya tekankan kepada anak-anak muda adalah jangan pernah lupa pada keyakinan. Baik kepada diri maupun kepada Tuhan. Karena ketika ada keyakinan pasti akan diberi jalan baik. Saya pun merasakan itu,” tutupnya Sudiantara.
