Pasangan WNA Langsungkan Pernikahan Adat Bali di Griya Agung Bangkasa

Pasangan WNA Langsungkan Pernikahan Adat Bali di Griya Agung Bangkasa

Pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pelaksanaan pernikahan diperlukan suatu lembaga yang mengatur hubungan antara suami isteri secara yuridis maupun religius sehingga hubungan tersebut sah menurut agama, adat istiadat, hukum, dan tidak melanggar norma-norma hukum kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

Dalam pelaksanaan prosesi perkawinan tentunya terdapat unsur budaya dan spiritual didalamnya, unsur budaya sendiri biasanya mengikuti budaya dari masing-masing mempelai, sebagai salah satu contoh pernikahan adat Bali yang sangat kental dengan nilai budaya dan agama Hindu, mulai dari perlengkapan upacara hingga pakaian yang dipakai oleh mempelai dan para tamu undangan yang menghadiri prosesi tersebut.

Dari hal tersebut menginspirasi pasangan yang berasal dari negara kincir angin yaitu Netherlands (Belanda) yaitu mempelai laki-laki bernama Frans Willem (54 tahun) dan mempelai perempuan Jodie (29 tahun) untuk melangsungkan pernikahan mereka dengan upacara pernikahan agama Hindu secara adat Bali di Griya Agung Bangkasa, Kabupaten Badung pada tanggal 8 Februari 2024 dari pukul 11:00 sampai pukul 13:00 wita.

Penyanggra (pemilik) Griya Agung Bangkasa, I Gede Sugata Yadnya Manuaba (dengan sebutan akrab Jro Mangku Gde Tu Baba), sekaligus sebagai pengatur acara pekalan-kalan pawiwahan (pernikahan) tersebut, yang di puput (pimpin) oleh Ida Sinuhun Siwa Putri Prama Daksa Manuaba. Jro Mangku Gde Tu Baba, mengatakan permintaan perkawinan pasangan pengantin ini diterima secara alamiah. Sebab, pernikahan ini ada yang terbatas tempat, terbatas waktu hingga ada yang tidak punya kerabat di Bali. “Kami ingin membantu mereka yang menganggap agama Hindu itu susah, padahal sebenarnya tidak susah,” jelasnya.

“Sudah sering, Griya Agung Bangkasa melaksanakan upacara seperti ini, baik sesama orang Hindu Bali, maupun orang asing. Ketika itu, seorang bule asal Belanda meminta agar di upacarai sesuai dengan adat Agama Hindu. Saat covid pernah 4 kali ada upacara nganten (pernikahan) sederhana,” lanjut Jro Mangku Gde Tu Baba.

Baca Juga : “PAWIWAHAN NGUBENG” Menikah dengan Sederhana Tanpa Mengurangi Makna

Griya Agung Bangkasa berupaya menyediakan konsumsi berupa nasi kotak atau prasmanan sesuai keinginan pasangan mempelai. “Segitu aja tamunya sudah senang, lalu posting di media sosial. Sejak itu mulai dikenal dan berkembang. Mulailah orang kawin ajak teman kesini,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, pasangan pengantin meminta agar dilengkapi fasilitas resepsi, namun saat itu pihaknya belum siap. Sejalan dengan waktu, pernikahan ngubeng seperti ini semakin diminati. Tentu dengan memenuhi beberapa persyaratan, seperti persetujuan dari keluarga kedua mempelai serta kebulatan tekad warga asing masuk Hindu. “Dalam setiap upacara Sudiwidani, kami juga menghadirkan PHDI, Pernah juga Bule menikahi gadis Singaraja yang ingin melangsungkan upacara Sudiwidani,” jelasnya. 

Jro Mangku Tu Baba menambahkan, awalnya tidak terpikirkan akan melayani prosesi pawiwahan. Namun karena tuntutan umat, pihaknya berupaya memenuhi. Di Griya Agung Bangkasa ini pula, untuk meringankan beban krama dilakukan berbagai inovasi. Sebutlah untuk kegiatan ritual metatah, bayuh tampek bolong secara massal, bebayuhan pawetuan hingga perkawinan adat. Diakuinya, dalam perkembangannya, Griya Agung Bangkasa kemudian melayani segala jenis ritual secara punia saha sidang (dengan biaya sesuai kemampuan). 

Dari dulu Griya Agung Bangkasa ditujukan untuk keluarga ekonomi menengah ke bawah namun, dalam perjalanannya banyak pejabat dan Masyarakat dengan ekonomi menengah keatas juga melangsungkan ritual di tempat ini. “Konsep kami pelayanan umat,” tutup Jro Mangku Gde Tu Baba. (istimewa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *