Tradisi Mekare-kare atau dikenal dengan Perang Pandan, tradisi unik ini hanya ada di desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Selain Perang Pandan, desa Tenganan di Karangasem ini memiliki hasil kerajinan kain tenun yang khas, yakni kain Gringsing, tenun tradisional dengan teknik dobel ikat yang cukup terkenal pula dan jarang anda bisa temukan di pulau Dewata Bali.
Desa Tenganan Pegringsingan yang dikenal dengan desa Bali Aga, atau penduduk asli Bali yang tidak terpengaruh budaya luar, berbagai warisan budaya dan tradisi Bali kuno dari jaman tempo dulu, bisa anda temukan di desa ini, salah satunya adalah tradisi Mekare-kare atau Perang Pandan ini.
Tradisi Mekare-kare ini digelar bertujuan sebagai sebuah persembahan untuk menghormati Dewa Indra yang dipercaya sebagai Dewa Perang dan juga untuk menghormati para leluhur. Ritual Perang Pandan ini digelar sekali dalam setahun yaitu pada bulan Juni.
Jadi kalau anda ingin menyaksikan tradisi Mekare-kare atau perang pandan ini pada bulan Juni, tanggalnya akan berbeda-beda karena desa Tenganan memiliki kalender atau penanggalan sendiri, yang berbeda dengan kalender Masehi, Saka ataupun kalender Bali.
Tradisi perang pandan atau Mekare-kare ini bertepatan pada upacara Ngusaba Kapat / Sasih Sembah di depan halaman Bale Agung. Warga desa Tenganan sama halnya menganut kepercayaan Hindu sepertiwarga Bali pada umumnya, namun warga desa Tenganan memiliki pemahaman kepercayaan yang sedikit berbeda dengan warga Hindu Bali, mereka tidak mengenal Kasta ataupun warna, juga meyakini Dewa Indra adalah dewa tertinggi. Tenganan menjadi salah satu desa Unik di pulau Dewata, bahkan warga lokalpun tertarik untuk menikmati keunikan tradisi desa tersebut.
Tradisi Mekare-kare atau upacara Perang Pandan ini, merupakan rangkaian upacara keagamaan di desa Tenganan Pegringsingan saat upacara Sasih Sembah digelar, upacara Sasih Sembah ini adalah upacara terbesar dan hanya sekali dalam setahun, sedangkan prosesi Mekare-kare dilangsungkan selama 2 hari di halaman Balai Desa dan dimulai sekitar jam 2 sore.
Dalam tradisi Mekare-kare alat saat perang digunakan pandan berduri yang diikat disimbolkan sebagai sebuah gada dan dilengkapi juga dengan perisai dari rotan yang berfungsi sebagai tameng menangkis serangan lawan, perang pandan ini hanya diikuti oleh kaum pria yang sudah mulai menginjak remaja.
Sebelum acara puncak Perang Pandan dimulai, peserta mengelilingi desa dengan tujuan memohon keselamatan.pada saat Tradisi Mekare-kare dilakukan mereka berhadap-hadapan satu lawan satu dengan segepok daun pandan berduri pada tangan kanan dan perisai pada tangan kiri dan seorang wasit atau disebut “Penengah” diantara keduanya. Setelah Penengah memberi aba-aba untuk perang dimulai, maka kedua peserta yang perang tanding di atas panggung tersebut saling serang.
Saat perang pandan berlangsung, mereka juga saling rangkul sambil memukulkan pandan berduri dan menggosokkan/ menggeretkan ke punggung lawan. Penengah dan dibantu peserta lain siap memisahkan mereka. Bisa dibayangkan bagaimana duri-duri yang menancap di kulit, ini benar-benar perang adu nyali saat tradisi Mekare-kare berlangsung.
Selesai prosesi perang pandan ini, luka gores yang kebanyakan di punggung diobati oleh ramuan tradisional dari bahan kunyit dan dikenal begitu ampuh menyembuhkan luka. Setelah perang dalam tradisi Mekare-kare selesai tidak ada dendam diantara mereka, meski mereka sempat saling menyakiti, itu adalah sebuah rangkaian upacara persembahan yang dilakukan dengan tulus iklas. Warisan budaya kuno dari jaman Bali tempo dulu ini menjadi sangat unik dan menarik pada jaman sekarang ini.
One thought on “Mekare – kare, persembahan untuk dewa perang.”