Jajal Profesi dari Satpam Hotel  hingga Dipercaya Menjadi Pimpinan Lembaga

Jajal Profesi dari Satpam Hotel hingga Dipercaya Menjadi Pimpinan Lembaga

Peribahasa “Tuah ayam boleh dilihat, tuah manusia siapa tahu” merupakan salah satu peribahasa Melayu yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Peribahasa ini mengandung makna yang mendalam dan perlu dipahami dengan baik. Makna peribahasa “Tuah ayam boleh dilihat, tuah manusia siapa tahu” adalah bahwa keberuntungan atau nasib baik seseorang tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dijamin kekal selamanya. Ya, kebanyakan orang percaya nasib berlaku secara kebetulan. Ia sesuatu yang tidak dapat kita jangkau atau kecapi secara perancangan. Sehingga dengan sadar pula, ketika nasib baik sedang berpihak, upaya untuk tetap melakukan yang terbaik adalah cara yang ampuh untuk merawatnya. Agar selalu membekas dan dikenang sebagai ilmu hidup.

Hal serupa yang juga turut diamini oleh I Ketut Wita, S.Ag dalam menjalankan setiap tugas-tugas dan tanggungjawabnya. Siapa yang tahu, jika laki-laki paruh baya yang kerap melontarkan senyum ramah ini telah banyak melalui dinamika hidup yang bagi sebagian orang tak semudah membalikan telapak tangan. Namun, ditangan Ketut Wita, segala bentuk tantangan hidup itu mampu ia tempuh dengan semangat, tekad dan kerja keras. Saat ini, ia sudah bisa merasakan nikmatnya hidup yang mapan, sukses dan bahkan mendapat kepercayaan dari banyak pihak untuk bisa menahkodai lembaga Koperasi Serba Usaha (KSU) Banjar Keliki. Siapa sangka bahwa untuk bisa mendapatkan posisi itu, Ketut Wita mesti menebarkan jejak di berbagai bidang profesi demi menempa banyak hal sebagai modal untuknya belajar.

“Hidup kami morat-marit tapi lagi-lagi orang tua saya mengajarkan ilmu ikhlas. Hingga akhirnya saya tetap bisa bersekolah dan mampu menyelesaikannya. Sampai saya menjadi satpam di salah satu hotel daerah Ubud meski dulu dengan gaji hanya 35 ribu rupiah sejak tahun 1991,” kenangnya dengan sedikit tertawa.

Ya, Ketut Wita pernah cukup lama memerani tugas menjadi seorang penjaga keamanan demi memenuhi kebutuhan hidup. Tugas yang tidak malu ia lakoni sejak setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah atas. Kala itu, menurut pria yang telah menggantungkan gelar pendidikan sarjana keguruan agama Hindu dengan konsentrasi Pendidikan Agama di UNHI Bali ini, bisa mendapatkan sebuah pekerjaan merupakan sebuah hal yang Istimewa. Bukan tanpa alasan, kondisi ekonomi lah yang terus menuntunnya untuk terus bekerja keras.

Baca Juga : Lewat Tangan Kreatif Putu Mahendra Sukses Dorong Geliat Industri Pariwisata yang Bermanfaat Bagi Lingkungan

Kondisi yang baginya tidak mesti juga ia sesali. Sebab, dari situasi serta kondisi yang serba berkekurangan itu, Ketut Wita mendapatkan ragam penempaan hidup yang sangat berarti. Termasuk dalam lingkup keluarga kecil yang telah membesarkannya hingga bisa tumbuh mandiri. Dalam kesempatan yang baik itu, suami dari Ni Made Sueni ini pun turut menceritakan banyak hal bagaimana dirinya didewasakan oleh kondisi yang serba kekurangan. Ketut Wita tumbuh dalam keluarga yang berlatar belakang petani. Kedua orang tuanya, I Made Wati (alm) dan Ni Wayan Kumin (alm) adalah petani dengan menggarap lahan yang tak luas dan mesti menghidupi 7 orang anak. Meski demikian, bagi Ketut Wita, ia banyak belajar dari pengalaman hidup tersebut. Bahkan merasakan lembutnya kasih sayang serta hangatnya pelukan kekeluargaan bisa ia rasakan dalam lingkup keluarga terdekatnya itu.

“Bapak dan Ibu saya sudah meninggal, dan yang saya ingat adalah kenangan bagaimana bapak saya mencintai ibu saya. Kami didik menjadi petani sedari kecil, sebelum berangkat sekolah ke sawah dan setelah pulang sekolah pergi ke sawah lagi sambil beternak sapi, ayam dan itik, sehingga sampai hari ini kebiasaan bertani dan beternak masih saya lakukan. Dan jujur, saya lebih dekat dengan sosok Ayah. Sebagai petani kecil, ia selalu mendidik kami untuk disiplin dan tidak gampang patah. Beliau berpesan walau kita hidup susah jangan melihat yang lebih tinggi, selalu lihatlah kebawah. Kalau memang kita sudah pernah merasakan dibawah, maka ego kita tidak akan tinggi. Kelak kalaupun kamu sudah berpunya tetalah pelihara hewan ternak dan bertani,” kenangnya dengan sedikit tersenyum.

Nilai-nilai dasar tentang manusia untuk saling berbagi, tidak egois dan saling memperhatikan turut menjadi bagian penting membentuk karakter I Ketut Wita. Bagaimana tidak, kesehariannya selalu melihat perilaku itu dari sosok kedua orang tuanya. “Saya belajar tentang kerukunan dari orang tua saya. Kerukunan keluarga berdampak baik untuk mencapai apapun yang kita tekadkan walau dengan banyak keterbatasan. Dan tentu bisa sampai hari ini karena campur tangan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Sampai SMA dan lulus hingga bisa bekerja, adalah jalan dan kesempatan yang baik bagi saya. Tekad saya dulu memang harus selesai sekolah, meski kondisi tidak memungkinkan untuk sekolah, karena memang kami keluarga kecil dengan banyak saudara, bahkan nasi satu piring kami bagi rata ke semua saudara. Saking sederhananya keluarga kami,” ujarnya.

Baca Juga : “SIAP MENGEMBAN TANGGUNG JAWAB” Rumah Sakit Mata Bali Mandara Siap Memberikan Pelayanan Terbaik

Meski sudah mendapatkan pekerjaan sebagai security, Ketut Wita selalu memiliki niat untuk bisa mengecap pendidikan di perguruan tinggi dan berhasil menyelesaikannya. Sebab pendidikan baginya adalah media untuk memperkokoh sekaligus pengembangan karakter. Sehingga dengan basic pilihannya di keilmuan agama turut membentuk perilaku serta sikapnya untuk bisa lebih memaknai hidup untuk lebih bermanfaat. “Saya selalu percaya tentang karma, apa yang kamu lakukan maka akan kamu tuai. Itu yang selalu saya yakini,” pungkas Ketut Wita.

Ahli ihwal kepemimpinan yang telah sukses pernah mengatakan bahwa, pemimpin hebat tidak lahir dengan kemampuan super human, tetapi ia sengaja menempatkan diri dalam situasi yang mengharuskannya belajar, beradaptasi dan berkembang, karakter itu pula yang tumbuh dalam diri Ketut Wita. Dalam proses perjalanan hidupnya yang berawal berprofesi sebagai satpam kemudian dipercaya sebagai manajer salah satu villa, Ketut Wita adalah sosok yang aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang akhirnya membawa Ketut Wita untuk menjadi Ketua Pecalang atau pengaman adat Bali dan kemudian dipercaya oleh masyarakat untuk memimpin desa sebagai Perbekel / Kepala Desa Keliki.

Dari sanalah, ide dan gagasan untuk mengembangkan koperasi yang dikelola oleh Banjar Keliki. “Saya dulu bekerja sebagai satpam di salah satu hotel daerah Ubud dari tahun 1991 sambil mengabdi di desa membangun koperasi. Karena kepercayaan masyarakat ditunjuk oleh soko guru sekarang namanya Badan Musyawarah, dengan tujuan bagaimana koperasi ini berkembang dan maju, saya pun terpilih untuk bisa mengelola lembaga tersebut. Prinsipnya adalah dari banjar, oleh banjar, dan untuk banjar. Badan Musyawarah ini terdiri dari 25 orang, inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya koperasi di Banjar Keliki,” ungkap Ketut Wita.

“Awal mulanya, ceritanya, kami mendapatkan bantuan dari pemerintah. Koperasi ini berasaskan kebersamaan, sesuai dengan amanat presiden menguatkan kapasitas ekonomi desa dengan perputaran ekonomi bersama. Lebih dari 400 desa mendapatkan bantuan. Saat itu, pihaknya pun diberikan dana modal Rp2.000.000. Kami musyawarah bersama untuk mengajukan proposal untuk koperasi,” sambungnya.

Pertama-tama, ia tidak menampik, bahwa sangat sulit mencari data warga yang betul-betul ingin menjadi anggota koperasi. Apalagi banyak saingan dari LPD yang luar biasa dananya. Hingga akhirnya perlahan koperasi serba usaha itu berjalan dengan bermodalkan Rp 10.000.000 dengan 228 anggota. Tahun 2003 anggota banjar hanya boleh meminjam Rp. 200.000 dan paling tinggi Rp. 500.000 rupiah dengan sistem bergilir. Hal lain agar KSU Banjar Keliki bisa berjalan lebih baik lagi, Ketut Wita bersama staf lain bersepakat untuk wajib membayar iuran wajib Rp.1.000 perbulan selama 12 bulan. Bagi yang meminjam dikenakan biaya administrasi 3 persen. “Pola ini saya temukan saat saya bekerja sebagai satpam, saya mempelajari manajemen hotel dan saya terapkan ke anggota. Akhirnya berkembanglah koperasi ini dengan modal kepercayaan dan kebersamaan. Buktinya tidak ada persaingan disini. Karena dari banjar disini ada 18 Koperasi dan LPD, semua berkembang dengan baik karena saling bersinergi untuk kemaslahatan rakyat,” tegasnya.

Baca Juga : Entrepreneur Muda yang Berperan Mempromosikan Gaya Hidup Sehat Melalui Klinik “Fisioterapi Astina”

Berbagai masalah tentu ia hadapi. Contohnya saat harus menggunakan uang simpanannya sendiri untuk bisa menutup uang nasabah. Bahkan di awal berjalannya KSU tersebut, Ketut Wita tidak menerima gaji sama sekali, sebab ia lebih mengutamakan nasabah yang lebih membutuhkan. Selain pengorbanan itu yang ia perlihatkan, tata kelola keuangan yang transparan pun menjadi bagian penting untuk bisa saling percaya. Dan dari perkembangan koperasi ini, ada 13 pos buku untuk pembagian aliran uang. Salah satunya ketika ada upacara agama, pihaknya saling sokong dari koperasi agar masyarakat tidak mengeluarkan sepeserpun dari kantong mereka. “Ya grafik keuangan ada kalanya naik dan adakalanya turun, saat pandemi hampir semua koperasi terancam bangkrut, KSU ini bertahan karena modal kepercayaan yang diberikan anggota. Saya bekerja hari ini di KSU bukan untuk saya sendiri, tapi demi anak-cucu saya agar bisa menikmati saat saya tidak ada. Saya bekerja sebagai satpam juga koperasi sebagai pendukung, saya hanya bermodalkan kepercayaan. Kalau orang percaya sama saya, saya akan lebih percaya dengan orang”,” ujar Ketut Wita.

Perjalanan karir dari pria kelahiran Keliki, 25 Agustus 1972 itu memang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya. Selain mengelola koperasi dan begitu besar perhatiannya untuk banyak orang, Ketut Wita pun pernah dipinang untuk berjuang sebagai calon anggota DPR dari partai Golkar. “Padahal saya masih jadi satpam saat itu. Masyarakat semua mendukung saya untuk naik, dan sebetulnya sudah jadi, tapi saya mengundurkan diri karena diminta untuk berjuang bersama rakyat tanpa melalui partai. Akhirnya saya ikut calon Kepala Desa dan saya lolos sebagai kepala Desa dengan mengusung semangat ASRI (Aman,Sehat dan Lestari). Saat masyarakat aman, sehat pola pikir dan fisik maka akan tercipta desa yang lestari dan saya selalu percaya itu,” cerita ayah 2 anak ini dengan sedikit tersenyum.

Dengan ragam pencapaian serta pengalaman baik itu, ia pun selalu menaruh harapan besar kepada banyak pihak untuk tetap menjaga dan mampu meneruskan KSU Banjar Keliki ini. Tentu dengan semangat dan nilai luhur manusia untuk saling gotong-royong, adil, jujur dan transparan. “Sebelum saya dipercaya menjadi pemimpin saya belajar lima sifat kepemimpinan. Yang pertama bagaimana bisa mengayomi seperti air, bagaimana menjadi angin, walaupun di goyang tidak goyah. Bagaimana bersifat bijaksana dan lain-lain, saya terapkan dalam kepemimpinan koperasi ini. Saat orang butuh uang, saya kasih dari kantong saya sendiri. Saya berbuat baik karena bukan untuk saya tapi untuk anak-anak dan cucu saya nanti. Banyak kejadian, saat anak saya sedang dalam keadaan susah selalu dibantu dan dijaga. Dan sebelum desa ini menjadi desa wisata, desa ini sudah ramai dikunjungi karena lestari. Saat sudah menjadi desa wisata, desa ini berkembang dan menjaga kerukunan dan keasrian desa. Saya ingin menunjukkan kepada dunia bagaiamana desa kami bisa tetap lestari,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *