MENGAWAL KEBIJAKAN PANGAN DARI HULU KE HILIR

MENGAWAL KEBIJAKAN PANGAN DARI HULU KE HILIR

Seperti bulir padi yang tumbuh di sawah, yang menghadapi berbagai rintangan. Terik matahari yang menyengat, hujan yang deras, hama yang datang tanpa diduga. Begitu pula I Nyoman Wirya dalam menghadapi tantangan yang menguji ketahanan dan kematangannya sebagai pemimpin KUD Kerambitan. Ia tidak hanya harus memahami sistem yang telah berjalan, tetapi juga berani mengambil langkah-langkah inovatif di tengah berbagai keterbatasan. Setiap keputusan yang diambilnya bagaikan petani yang harus membaca tanda-tanda alam, menentukan kapan harus menanam, memberi pupuk, dan memanen agar hasil yang diperoleh maksimal. Ia harus jeli membaca perubahan kebijakan pemerintah, merespons dinamika harga pasar, serta memastikan kesejahteraan petani tetap terjaga. Layaknya padi yang membutuhkan air dalam takaran yang pas. Ia juga harus menjaga keseimbangan antara kepentingan koperasi dan kebutuhan masyarakat.

Jika dipikirkan lagi, I Nyoman Wirya sebenarnya memiliki peluang besar untuk langsung terjun ke usaha dagang kayu dan borongan milik orang tuanya, setelah lulus sarjana muda. Usaha tersebut, pada masanya merupakan yang terbesar di Kerambitan dan belum banyak pesaing di bisnis serupa. Namun, pilihan hidupnya tidak hanya mengikuti jalur yang sudah ada. Ia justru merasa tertantang dengan anggapan bahwa anak muda tidak memahami seluk-beluk Koperasi Unit Desa (KUD). Banyak pihak meragukan kemampuannya, mempertanyakan apakah seorang pemuda tanpa pengalaman panjang di dunia koperasi mampu mengelola sebuah organisasi yang melibatkan banyak kepentingan petani dan masyarakat desa.

Baca Juga : “LPD DESA ADAT BATUAJI” Bukan Sekedar Lembaga Tapi Rumah Pengabdian

Alih-alih mundur, keraguan itu justru menjadi pemacu semangatnya. I Nyoman Wirya melihat KUD bukan hanya sebagai institusi ekonomi desa, tetapi juga sebagai wadah yang bisa membawa perubahan bagi para petani dan masyarakat sekitar. Dengan kesungguhan hati, ia memutuskan untuk membuktikan bahwa anak muda juga bisa memahami, mengelola, bahkan membangun KUD menjadi lebih maju. Keputusannya untuk terjun ke KUD bukan tanpa risiko. Ia harus belajar dari nol, menghadapi tantangan di lapangan, serta beradaptasi dengan sistem yang sudah berjalan. Namun, dengan keberanian dan komitmen yang kuat, ia mulai menemukan cara untuk membawa inovasi dalam KUD, menjadikannya lebih efektif dalam mendukung kesejahteraan petani dan masyarakat desa.

Dua periode pertama memimpin di KUD Kerambitan, muncullah program pengadaan beras oleh Perusahaan Umum BULOG. Khususnya di Tabanan, yang dikenal sebagai “Lumbung Padi”. menjadi salah satu wilayah dengan pengadaan terbesar. Dengan adanya program ini, KUD Kerambitan mampu membeli tanah yang sebelumnya kontrak, sebagai lokasi berdirinya KUD Kerambitan. Tahun 1984-1985, KUD Kerambutan mulai melakukan pengadaan beras dengan sistem poles II pembelian gabah. Beras poles sendiri adalah beras yang dihasilkan dari penggilingan gabah secara menyeluruh, setelah sekam, lapisan poles dan dedak dibuang. Jenis beras ini juga dikenal sebagai beras kebi. Dari pengalaman ini, ia mulai memahami seluk-beluk dunia pertanian, termasuk tantangan dan peluangnya. Berjalannya waktu, pemerintah semakin mendukung peran KUD Kerambitan. Selain berfungsi sebagai penyalur pupuk dan beras, pada tahun 1986 KUD juga mulai menyalurkan beras untuk kebutuhan tunjangan PNS (Beras PNS) dengan jumlah setoran sekitar 50 ton per bulan.

Bekerja di sektor pangan tidak bisa setengah-setengah. Pria yang sudah empat periode sebagai anggota DPRD Provinsi Bali dari Partai GOLKAR ini, memahami betul bahwa setiap tahapan dalam pengelolaan gabah harus dilakukan dengan penuh ketelitian. Sejak pukul lima pagi, ia sudah berada di lantai jemur. Ia memilah mana yang masih basah, setengah kering, atau siap untuk proses selanjutnya. Begitu juga gabah yang sudah tiba empat hari lalu, tingkat kelembapannya tetap harus dicek dengan cermat. Gabah yang masih basah harus segera dijemur lebih dulu, sementara yang sudah cukup kering dapat ditunda prosesnya agar tidak terjadi ketidakseimbangan dalam pengeringan. Setelah memastikan semua proses awal berjalan dengan baik, barulah ia pulang sebentar untuk bersiap ke kantor. Namun, tanggung jawabnya tidak berhenti di sana. Ia tetap mengawasi para pekerja yang bertugas menjemur gabah, karena proses ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Jika gabah tidak diayak setidaknya empat kali selama setengah hari, maka ada risiko ketidaksempurnaan dalam pengeringan. Lapisan atas bisa terlalu kering karena terkena sinar matahari langsung, sementara bagian bawah masih lembap, yang berpotensi menyebabkan penurunan kualitas akhirnya.

Baca Juga : “MARTABAT DAN KESEJAHTERAAN” Sinergi Pembangunan Desa Megati

Menjelang sore, sekitar pukul empat hingga lima, gabah sudah bisa dimasukkan. Belum selesai sampai di sana, dari pukul enam hingga delapan malam, gabah yang baru tiba dari sawah harus segera ditimbang dan diproses saat itu juga. Tidak ada waktu untuk menunda, karena keesokan harinya haru segera dicor. Proses ini tidak mengenal hari libur atau jam kerja tetap. Semuanya harus dilakukan dengan totalitas dan yang terpenting harus dijalani dengan penuh kesenangan dan dedikasi. I Nyoman Wirya juga menambahkan, bahwa setiap wilayah memiliki karakteristik gabah yang berbeda, dan pemahaman terhadap hal ini menjadi kunci utama dalam pengelolaan pangan. Contohnya di KUD Kerambitan, meskipun proses perendaman dilakukan dengan baik, hasil rendaman gabahnya tetap tergolong rendah. Oleh karena itu, jika memungkinkan, gabah dari daerah lain perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi produksi. Semua keputusan ini membutuhkan kejelian dan pengalaman, karena setiap detail dalam pengolahan gabah dapat mempengaruhi hasil akhir yang diperoleh.

Selain padi, muncul kebijakan baru yang mendorong pengembangan tanaman cengkeh. Meskipun Kerambitan bukan daerah dengan potensi cengkeh yang tinggi, I Nyoman Wirya melihat peluang dan tertarik untuk mencoba membudidayakannya. Keputusan itu terbukti tepat, KUD Kerambitan berhasil menghasilkan cengkeh dalam jumlah yang signifikan. Namun, dalam kebijakan yang diterapkan oleh PUSKUD (Pusat Koperasi Unit Desa), wilayah non-penghasil cengkeh seperti Kerambitan mendapat kuota yang lebih terbatas dibandingkan dengan daerah yang memang memiliki potensi cengkeh. Meski demikian, Kerambitan tetap mampu mencapai hasil produksi yang tinggi, bahkan menjadi salah satu penghasil terbesar di wilayahnya.

Baca Juga : Dari “SABUN MANDI” Menuju Mimpi Besar di Dunia Pendidikan

Dari Tantangan Ketidakpastian Cuaca hingga Lembaga
Selain tantangan cuaca, tantangan utama dalam mengelola lembaga milik bersama KUD adalah keterbatasan peran dalam sektor pertanian. Saat ini, KUD tidak lagi diberikan peran strategis dalam pertanian, meskipun awalnya berfokus pada sektor tersebut. Misalnya, dalam distribusi pupuk, justru pihak swasta yang lebih mendapat perhatian, sementara KUD hanya berperan sebagai pengecer. Dahulu, pupuk bersubsidi bersifat lebih fleksibel, bahkan KUD Kerambitan bisa mendatangkan pupuk dari Banyuwangi. Namun, kini regulasi semakin ketat, pengambilan pupuk harus menggunakan KTP asli, dan hanya pemilik lahan yang berhak mengambilnya. Padahal, sekitar 20% lahan di Kerambitan kini dimiliki oleh warga luar daerah, sehingga sistem ini justru menyulitkan para penggarap yang tidak memiliki hak akses langsung terhadap pupuk bersubsidi.

Kebijakan pangan yang ditetapkan pemerintah sebenarnya sangat baik, tetapi respons dari masyarakat, khsususnya para petani, belum sepenuhnya positif. Hal ini terjadi karena keuntungan dari sektor pertanian masih tergolong kecil. Salah satu faktor penyebabnya adalah keterbatasan kepemilikan lahan. Idealnya, standar hidup yang layak bagi keluarga petani dapat tercapai dengan kepemilikan lahan minimal dua hektar. Namun, di banyak daerah, termasuk Kerambitan, rata-rata petani hanya memiliki sekitar 30 are. Dengan luas lahan yang terbatas, sulit bagi mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup hanya dari hasil pertaninan. Akibatnya, banyak petani yang menjadikan pertaninan sebagai pekerjaan sampingan dan mencari penghasilan tambahan dari sektor lain.

Dalam kondisi seperti ini, kebijakan pemerintah seharusnya lebih fleksibel dalam mendukung petani, salah satunya dengan membebaskan atau mempermudah regulasi tata niaga pupuk. Saat ini, akses terhadap pupuk masih terhambat oleh berbagai aturan ketat, yang justru menyulitkan petani kecil dalam mendapatkan pupuk dengan mudah dan terjangkau. Berdasarkan pengalaman I Nyoman Wirya yang sudah 20 tahun di KUD Kerambitan, jika distribusi pupuk lebih terbuka dan tidak terbatas oleh birokrasi yang rumit, petani akan lebih leluasa dalam mengelola lahan mereka secara optimal, sehingga pertanian dapat kembali menjadi sumber penghidupan utama yang berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *