“UD. KAMASAN BALI” Hidupkan Warisan Uang Kepeng di Tengah Modernisasi

“UD. KAMASAN BALI” Hidupkan Warisan Uang Kepeng di Tengah Modernisasi

Dalam budaya Bali, uang kepeng memiliki nilai spiritual yang tinggi. Hingga saat ini, uang kepeng digunakan dalam berbagai ritual agama Hindu di Bali, seperti upacara persembahan atau pemujaan di pura. Bentuk dan jumlah koin yang digunakan biasanya disesuaikan dengan kepercayaan dan fungsi spiritual dalam setiap ritual. Uang kepeng sering dililitkan dalam bentuk rangkaian, ditempatkan dalam sesajen, atau digantung sebagai simbol pelindung. Pada era modern, meskipun uang kepeng tidak lagi digunakan sebagai alat tukar atau transaksi resmi, nilai budaya dan warisannya tetap dipertahankan. Beberapa kolektor dan pengrajin di Bali bahkan memproduksi uang kepeng untuk tujuan budaya, pariwisata dan pelestarian tradisi.

Uang kepeng, atau disebut juga “pis bolong”, adalah koin tradisional yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang penting di Bali. Uang kepeng pada awalnya berasal dari Tiongkok dan telah digunakan di Nusantara sejak masa perdagangan maritim di Asia Tenggara. Koin ini berbentuk bulat dengan lubang persegi di tengahnya dan awalnya dipakai sebagai alat tukar, sebelum akhirnya bertransformasi menjadi benda budaya dan spiritual di Bali. Sejarah uang kepeng di Bali dimulai sekitar abad ke-9 hingga 14 Masehi, ketika hubungan perdagangan antara kerajaan – kerajaan di Nusantara dan dinasti di Tiongkok sedang berlangsung. Koin ini masuk ke Bali melalui jalur perdagangan, dan pada masanya memiliki peran penting dalam perekonomian masyarakat, bahkan digunakan dalam upacara adat, transaksi jual-beli dan mas kawin.

Setelah Indonesia merdeka, uang kepeng dinyatakan tidak lagi sah sebagai alat pembayaran resmi di Bali. Namun, koin ini tetap memiliki peran signifikan dalam berbagai aspek tradisi, adat dan upacara keagamaan masyarakat Bali. Menghadapi ancaman kelangkaan akibat berkurangnya produksi uang kepeng di Tiongkok, pemerintah provinsi Bali mengambil langkah serius. Sebuah survey yang dilakukan ke Tiongkok oleh pemerintah Bali mengungkapkan bahwa produksi uang kepeng sudah mulai menurun drastis, sehingga dikhawatirkan akan memengaruhi ketersediaan uang kepeng yang diperlukan untuk ritual-ritual adat di Bali. Untuk menjaga kelangsungan tradisi ini, Gubernur Bali saat itu, Dewa Made Beratha, membentuk lembaga pelestarian warisan budaya di tahun 2003. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa kebutuhan akan uang kepeng di Bali tetap terpenuhi, sekaligus melestarikan nilai-nilai budaya yang melekat pada penggunaannya. Lembaga ini bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pengrajin lokal, guna memproduksi uang kepeng di Bali, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ritual, tetapi juga sebagai upaya untuk menghidupkan kembali keterampilan seni tradisional yang terkait dengan pembuatan koin tersebut.

Baca Juga : Pengabdian Sosok Guru “I Nyoman Cindera” yang Sukses Mengembangkan Koperasi Tani Pala Werdhi” Sebagai Sarana Pendukung Kebututuhan Perekonomian

Terpanggil untuk Mewujudkannya
Mendengar upaya pelestarian pemerintah, Made Sukma Swacita, masyarakat asal Banjar Pande Mas, Desa Kamasan, Klungkung, terpanggil untuk mewujudkannya. Dengan latar belakang komunitas yang sudah turun-temurun diwarisi sebagai pekerja seni logam, khususnya pembuatan kerajinan emas. Termasuk Made Sukma sendiri, sudah menyentuh pekerjaan tersebut, sebelum akhirnya berkarir di bank. Dalam prediksinya, masyarakat Banjar Pande Mas dengan keahlian tradisional yang dimiliki, masyarakat di Banjar Pande Mas mampu membuat uang kepeng yang tidak kalah berkualitas dan memenuhi kebutuhan uang kepeng di Bali. Made Sukma pun berinisiatif untuk memberdayakan keterampilan lokal komunitasnya dalam produksi uang kepeng. Melalui kolaborasi dengan pengrajin setempat dan dukungan dari lembaga pelestarian budaya Bali tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru bagi bagi masyarakat Banjar Pande Mas.

Made Sukma menyadari bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan menjaga kualitas produksi uang kepeng Bali, diperlukan inovasi dan efisiensi dalam proses pembuatannya. Dengan tujuan tersebut, ia melakukan survei ke Jawa Tengah untuk mempelajari sistem produksi yang dapat diterapkan pada usahanya, yang ia beri nama “UD. Kamasan Bali”. Nama “Kamasan” dipilih oleh Made Sukma Swacita untuk memberikan penghormatan pada sejarah Desa Kamasan yang memiliki hubungan erat dengan tradisi pengerjaan logam. Dahulu, orang Kamasan di Klungkung memang dipilih untuk melakukan tugas istimewa, yaitu memotong dan membagi uang kepeng untuk kerajaan. Kemudian menjadi “UD. Kamasan Bali”, mencerminkan harapan agar perusahaan ini bisa menjadi usaha terbesar di Bali dalam bidang pelestarian dan pembuatan uang kepeng.

Dalam perjalanan ini, Made Sukma menggali wawasan tentang teknik pengerjaan logam modern dan manajemen produksi yang lebih efektif. Setelah surveinya, Made Sukma mengadopsi beberapa metode dari Jawa Tengah, seperti penggunaan peralatan yang lebih modern dan teknik logam yang lebih efisen, yang memungkinkan produksi uang kepeng lebih cepat tanpa mengorbankan kualitas. Langkah ini juga membuka peluang untuk meningkatkan skala produksi guna memenuhi kebutuhan upacara adat dan keagamaan yang semakin meningkat di Bali.

Selain mengadopsi teknologi, Made Sukma tetap menjaga nilai-nilai tradisional dalam setiap keping uang yang diproduksi. Ia mengombinasikan sentuhan seni tradisional dengan efisiensi modern, sehingga uang kepeng yang dihasilkan tidak hanya berkualitas tetapi juga memiliki makna budaya yang mendalam, mempertahankan aspek – aspek kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Usahanya, UD. Kamasan Bali, kini menjadi salah satu pengrajin uang kepeng terkemuka yang terus berkontribusi pada pelestarian budaya Bali, sekaligus meningkatkan perekonomian lokal melalui pemberdayaan tenaga kerja setempat.

Baca Juga : Lewat Tangan Kreatif Putu Mahendra Sukses Dorong Geliat Industri Pariwisata yang Bermanfaat Bagi Lingkungan

Awal pemasaran produk uang kepeng, tidak dilakukan secara langsung atau konvesional. Meski demikian, ternyata berhasil menarik perhatian media dan berbagai liputan tentang proses pembuatan uang kepeng serta nilai budayanya yang membuat UD. Kamasan Bali populer di kalangan wisatawan. Wisatawan kemudian tertarik berkunjung dan menjadi bagian dari program wisata budaya mereka. Dalam kunjungan tersebut, mereka dapat melihat langsung seluruh proses produksi uang kepeng, mulai dari peleburan logam hingga pengarahan artistik untuk menghasilkan benda-benda seni bernilai tinggi. Wisatawan juga merasakan keunikan tradisi Bali yang terus dipertahankan melalui produk-produk bernilai budaya tinggi. Selain menarik wisatawan, perhatian publik ini juga berperan penting dalam mengedukasi masyarakat luas mengenai pentingnya pelestarian uang kepeng sebagai simbol spiritual dan bidaya dalam kehidupan masyarakat Bali.

Menghidupkan tujuan mulia pemerintah dalam pelestarian budaya dalam motivasi yang mendorong Made Sukma dalam membangun usaha pembuatan uang kepeng di UD. Kamasan Bali. Dengan tekad kuat, Made Sukma tidak hanya fokus pada keuntungan, tetapi lebih pada pelestarian budaya dan peningkatan nilai spiritual di Bali. Ia menganggap usahanya sebagai bentuk “ngayah” atau pelayanan tulus bagi budaya leluhur, di mana upaya ini memberikan kontribusi nyata dalam menjaga keberadaan uang kepeng sebagai simbol penting dalam tradisi adat Bali.

Made Sukma juga berupaya mempertahankan warisan ini dengan wajib terus belajar dan berinovasi. Sebagai pelaku usaha, ia aktif mempelajari teknik-teknik baru sambil tetap mempertahankan proses tradisional yang diwariskan turun-temurun dalam keluarganya. Dipastikan, Made terus membuka diri untuk belajar dan berkolaborasi, menjadikan perjalanannya tidak hanya sebagai sebuah bisnis, tetapi juga sebagai dedikasi untuk keberlangsungan dan kebudayaan Bali yang hidup dan berkembang di masa modern.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *