Lahir di Blumbungan, Abiansemal, I Nyoman Sukadana pemilik dari Toko Wisnu yang berlokasi di Jalan Raya Mambal Semana, Kec. Abiansemal, Kabupaten Badung ini, sudah terbiasa mendapat didikan keras dari orangtua. Apalagi ia tergolong anak yang nakal, terutama saat ia mengingat setiap sepulang sekolah, ia tak pernah takut melewati Sungai Ayung saat alirannya deras. Namun sebandel apapun di masa itu, ia sangat mengerti kondisi orangtua yang hanya sebagai petani, yang harus ia perbantukan dengan menyabit rumput untuk makanan ternak, setiap pulang sekolah.
Tamat SD, Nyoman Sukadana melanjutkan ke SMP Pandawa Abiansemal, bila tidak ada kendaraan bemo yang melintas, ia terpaksa berjalan kaki dari Abiansemal ke Sibang di tahun 1983. Setelah lulus, ia berkeinginan melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) yang berlokasi di Jalan Ratna, namun nasibnya tidak mujur di bidang tersebut, sehingga ia kemudian merantau ke Lombok.
Dengan dibekali uang 20 ribu rupiah, ada rasa iba ia rasakan saat harus meninggalkan ibunya, apalagi dengan penghasilan tak seberapa, beliau masih sempat memberikannya uang. Akhirnya ia pun berangkat dengan diantar sepupu dan mempersiapkan mental hidup di kota Mataram, demi menemukan jati diri dalam memperoleh ilmu pengetahuan di bidang agama.
Tak semudah dibayangkan, Nyoman Sukadana tak hanya menghadapi tantangan dalam bentuk ‘fisik’, batinnya pun merasakan ada yang tidak menyukai atau mungkin khawatir dengan kehadirannya, bahkan mencoba mengusirnya dengan cara black magic. Ia pun berupaya mengatasi masalah tersebut dengan menjelaskan sebaik-baiknya dengan tuan rumah, tempat ia tinggal, bahwa ia datang ke Lombok, murni hanya untuk melanjutkan pendidikan. Meski sudah dijelaskan, ketakutan Nyoman Sukadana tak bisa ditutupi, bahkan sempat selama enam bulan, ia menghabiskan waktu di dalam kamar saja.
Baca Juga : Temukan Pencerahan Dengan Pola Pikir Seimbang di Masa Pandemi
Perjalanan Nyoman Sukadana bagaimana pun harus dilanjutkan, ia memberanikan melanjutkan langkahnya untuk sekolah di Mataram dan keluar dari tempat tinggal tersebut, dengan mencari kost-kostan, agar hati tak terus dilanda perasaan yang tidak memberikan kenyamanan untuknya. Bertemulah ia dengan kawan yang sama-sama dari Bali dan mulai bekerjasama saling meringankan beban masing-masing dalam memenuhi urusan dapur.
Pulang dari Lombok, Nyoman Sukadana bekerja menangkap babi, sembari ia terus melamar kerja di Denpasar. Ia akhirnya diterima bekerja di sebuah usaha di Jalan Nangka, namun jam kerjanya sangat padat, dimulai dari jam 4 pagi membawa es balok kemudian menaikkan minuman hingga jam 6 sore. Kondisi ini membuatnya berpikir, ia tidak mungkin mengambil pekerjaan ini sepanjang usianya, terlebih bila ia berkeluarga nanti, akan sedikit waktu yang ia sisakan bersama istri dan anak-anaknya. Diputuskanlah untuk ia mundur, namun pemilik menginginkan pengganti dari posisinya tersebut dahulu, barulah ia bisa keluar dengan gaji sebesar 75 ribu rupiah.
Dengan komitmen tak ingin menyusahkan hidup orang lain, Nyoman Sukadana melanjutkan pencarian pekerjaannya. Ia bekerja di beberapa tempat daerah Sanur, namun gaji yang diberikan jauh dibandingkan dengan gaji di tempat bekerja sebelumnya. Ia akhirnya kembali, hingga akhirnya mantap merintis usaha yang menyediakan kebutuhan sehari-hari.
Sempat Disangka Tidak Waras
Di tengah perjalanan usaha Nyoman Sukadana, saat usaha yang ia rintis dengan hanya bermodalkan 1 unit sepeda motor saat itu sudah bisa dikatakan sukses dan berkembang pesat, ada kejadian diluar kendalinya yang menyebabkan usahanya pun mengalami kebangkrutan. Di mana saat itu, setelah melakukan kegiatan persembahyangan di pura, sukadana dikira membakar sesuatu, kemudian karena dianggap tidak waras oleh masyarakat setempat maka dibunyikanlah kentongan untuk mengumpulkan warga lainnya . Ia pun menjadi pusat perhatian warga dan khawatir akan menganggu keamanan desa, dengan memilih memborgol tangannya, bahkan ada yang sempat mengkhawatirkannya akan membakar fasilitas umum. Setelah diselesaikan dengan landasan hukum, ia dinyatakan tidak bersalah oleh kepolisian. Agar tak meresahkan warga, ia kemudian mengeluarkan surat pernyataan yang bertuliskan, bila omongan orang-orang terbukti menganggu keamanan desa, ia siap ditembak di tempat.
Baca Juga : Membangun dan Membina Hubungan Kemanusiaan dalam Karya di Dunia Kesehatan dan Pendidikan
Nyoman Sukadana, mengaku apa yang ia rasakan saat itu, ada sosok roh yang merasuki tubuhnya, namun ia tidak kuasa untuk mengendalikannya, yang menimbulkan tingkah yang tidak seperti orang normal. Ia pun sempat dibawa ke RS Jiwa, Bangli, tapi ia memutuskan untuk kabur karena tidak terima dinyatakan sebagai orang gila, bahkan ada yang menyebut ia mempelajari suatu ilmu setelah pulang dari Lombok. Fitnah tersebut tentu tak bisa ia tolerir, karena memang bukan seperti itu nyatanya. Diperjalanan keluar dari rumah sakit, Sukadana berjalan kaki di tengah malam dengan menahan rasa lapar kemudian ia melihat pohon singkong lalu mencabut dan memakan ubinya. Ketika sampai di pertigaan Bangli, karena tidak membawa uang sukadana kemudian menjadi kernet mobil bemo agar bisa diberikan tumpangan, beruntungnya sang sopir mengizinkannya. Sesampainya di pasar Blahbatuh, ia kemudian turun dan menadatangi kediaman temannya waktu merantau di lombok, oleh temannya Sukadana diberikan bekal untuk pulang dengan menumpang kendaraan ke rumahnya. Akhirnya ia pun sampai di rumah, Sukadana meminta iparnya pergi ke RS Jiwa bangli untuk memberikan kabar bahwa dirinya sudah ada di rumah. Kondisi yang semakin tak karuan dirasakan olehnya, penglihatannya tiba – tiba mulai menurun dan semakin lama ia tidak bisa melihat. Ia juga merasakan kekakuan seluruh anggota tubuhnya, namun seiring berjalannya waktu kondisi tersebut bisa ia lalui kemudian menikah dengan sang istri Ni Made Sriati pada tahun 1992 dan merintis lagi usahanya dari awal hingga saat ini, yang berlabel “Toko Wisnu”, berlokasi di Jalan Raya Mambal Semana, Mambal, Kec. Abiansemal, Kabupaten Badung.
Bila dicerna dengan akal sehat, tentu hanya segelintir yang memahami perjalanan spiritual yang telah dialami Nyoman Sukadana, hingga ia akhirnya pulih dan bahkan seolah terlahir kembali dan benar – benar sehat. Namun kisah spiritualnya tak sampai disana, ia bahkan mengakui pernah didatangi oleh tokoh proklamator Indonesia “Bung Karno”, bahkan berbincang dengan beliau. Sukadana kerap berkeliling desa dengan membawa bendera merah putih dan mengelu – elukan “Merdeka, Hidup Soekarno”, bukan tidak mungkin spirit beliau seolah melebur di dalam jiwa raga Nyoman Sukadana, ia pun menjadi pribadi yang tak hanya spiritualis, tapi juga idealis dan ia pun berharap kepada anak muda penerus bangsa agar tidak pernah lupa kepada para pahlawan-pahlawan yang telah berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memerdekakan Indonesia.
Baca Juga : Berdedikasi sebagai Pelayanan Masyarakat maupun Berwirausaha
Takdir Nyoman Sukadana yang dipilih semesta dalam menerima anugerah kebangkitan spiritual ini memang tidak mudah dijalani olehnya, ia sudah beberapa kali meminta Sang Pencipta, untuk mencabut nyawanya saja. Namun perlindungan Sang Pencipta kepadanya sungguh luar biasa, serumit apapun ujian hidup yang ia hadapi, ia mampu melewatinya dan sehat sampai saat ini. Banyak pelajaran pun ia dapatkan untuk menjadi sosok yang bijak tak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk kepentingan orang banyak dan alam semesta.
Seiring berjalannya waktu, hati Nyoman Sukadana mulai menemukan kedamaian, begitupula dengan tanggapan keluarga, khususnya orangtua mulai menerima takdir spesial dari Sang Pencipta kepada putra mereka. Meski sampai kapan pun orangtuanya tak akan menemukan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan, mengapa Nyoman Sukadana yang harus mengalami itu semua. Pada akhirnya dikembalikan pada pemilik hati itu sendiri, harus mengikhlaskan yang telah terjadi, biarlah sudah menjadi visi misi Nyoman Sukadana sendiri untuk menemukan jawaban – jawaban dari setiap pertanyaan yang ada dibenaknya, dengan melanjutkan hidup dengan sebaik – baiknya dan tetap berada di jalan kebenaran Tuhan.
3 thoughts on “Bangun dari Keterpurukan, Menjadi Bijak Melalui Kebangkitan Spiritual”